JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Kasus suap pembangunan jalan proyek Kemenpupera yang melibatkan anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti memasuki babak baru. Damayanti menyebut jika pembagian fee sudah menjadi sistem di Komisi V DPR.
Hal itu diungkapkan kala menjadi saksi dalam kasus itu, dengan terdakwa Abdul Khoir, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama (WTU), terkait proyek pembangunan jalan Tehoru-Laimu senilai Rp 41 miliar di Maluku Utara Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (11/4) kemarin.
Baca Juga: Diperiksa KPK Empat Jam Lebih, Cak Imin Bantah Aliran Uang ke Politikus PKB
"Pak Amran menginstruksikan Abdul untuk membayarkan fee yang sudah ada judul dan kode kepemilikan masing-masing. Fee untuk pembangunan jalan di Tehoru-Laimu," kata Damayanti saat menjadi saksi untuk terdakwa Abdul Khoir di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (11/6) dikutip dari detik.com.
Amran Hi Mustary adalah Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah IX meliputi Maluku dan Maluku Utara. Damayanti mengaku tak tahu mengenai pengaturan besaran fee tersebut, hanya saja ia menyebut pemberian fee kepada anggota dari rekanan telah menjadi sistem di Komisi V.
"Saya kurang tahu (soal pengaturan besaran fee). Itu sudah sistem, ketika saya masuk di komisi V," ujar Damayanti.
Baca Juga: Cak Imin Diperiksa KPK dalam Kasus Suap PUPR, Hanif Dhakiri yang Dampingi Ngaku Tak Ngerti
"Fee itu memang menjadi hak pemegang aspirasi?" tanya majelis hakim.
"Iya, sesuai sistem yang sudah ada di Komisi V. Mengalir saja," lanjutnya. "Kalau terima sistem begitu kan ditangkap KPK saudara," ucap majelis hakim.
Damayanti menjelaskan, total fee yang ia terima dari Abdul adalah 328 ribu dollar singapura. Di mana 80 ribu dollar singapura dari uang tersebut diserahkan ke Julia Prasetyarini alias Uwi dan Dessy A. Edwin selaku perantara. Keduanya kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Jika ditotal dengan yang diterima Uwi dan Dessy maka total pemberian fee dari Abdul adalah 8 persen dari nilai proyek.
Baca Juga: Kasus Korupsi PUPR, KPK Panggil Wakil Ketua Dewan Syuro PKB
Abdul Khoir didakwa jaksa KPK melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Ia diduga melakukan suap bersama-sama dengan Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa, So Kok Seng alias Aseng, dan Direktur PT Sharleen Raya (JECO Group) Hong Arta John Alfred. Suap sebesar Rp 21,28 miliar, SGD 1.674.039 atau sekitar Rp 15.066.351.000 dan USD 72.727 atau sekitar Rp 959.996.400. Suap diduga diterima tak hanya oleh Damayanti.
Terpisah, Anggota Komisi V DPR Miryam S Haryani membantah pernyataan Damayanti. Dia menegaskan tak ada sistem bagi-bagi fee di komisinya. "Tidak benar itu, enggak benar! Enggak ada seperti itu," ujar Miryam kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/4/) dikutip dari detik.com.
Baca Juga: Gamblang, Surat Justice Collaborator Musa Zainuddin Sebut Sekjen, Bendum dan Ketum PKB
Miryam mempersilakan aparat penegak hukum membuktikan tudingan Damayanti. Jangan sampai tudingan itu hanya jadi rumor yang memperburuk citra DPR. "Kalau ada benar, silakan diusut! Jangan dijadikan rumor aja," ujar politikus Hanura ini.
Anggota Komisi V lainnya, Ahmad Bakrie, mengaku tak tahu menahu soal tudingan Damayanti. Dia meminta isu soal sistem pembagian fee ini ditanyakan ke pimpinan Komisi V DPR.
"Tanya pimpinan komisi saja. Serius," ujar politikus PAN ini.
Baca Juga: Hari Ini KPK Periksa Kiai Abdul Ghofur, Wakil Ketua Dewan Syura PKB Terkait Kasus Suap PUPR
Sedangkan Ketua Komisi V Fary Djemi Francis tak menjawab tegas. (dtc/mer/mtrv/sta)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News