Terjemahan al-Ra’d: 07
Orang-orang yang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Tafsir
Masih membicarakan orang-prang kafir yang terus menuntut nabi Muhammad agar begini dan begitu, baru mereka mau beriman. Pernah menuntut agar mereka reinkarnasi total, dalam artian kembali bayi lagi dengan ruh yang sama, tapi bodi baru. Pernah meminta agar al-Qur'an turun dari langit berupa kertas bertuliskan huruf-huruf yang mudah dibaca. Pernah memintya agar bukit Shafa diubah menjadi emas. Yang congkak, mereka menantang agar segera ditimpa azab jika mereka salah. Hal itu untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah, dan dalam ayat ini, mereka kembali meminta agar turun ayat sebagai bukti yang bisa disaksikan.
Nabi Muhammad SAW diam saja, karena mengerti bahwa turunnya ayat itu otorita Tuhan dan nabi hanya sebatas bisa memohon. Tuhan tidak melayani permintaan mereka karena tahu bahwa mereka hanya main-main, andai dikabulkan, mereka juga tidak akan beriman, sehingga sia-sia saja melayani mereka. Sebagai gantinya, Tuhan memberi pernyataan ulang untuk mementapkan hati nabi, "innama ant mundzir", bahwa kamu, wahai Muhammad adalah utusan Tuhan beneran yang tegas memberi peringatan kepada umat manusia.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Ini pelajaran bagi siapa saja yang menjadi juru bicara Tuhan, termasuk guru, kiai, penceramah, pengabdi agama lainnya bahwa di lapangan tidak semulus yang dibayangkan. Ada yang rewel, ada yang abai dan ada yang suka menuntut tapi belum tentu konsekuen. Khusus tuntutan, memang perlu diperhatikan, tapi juga perlu dipertimbangkan.
Semisal anak kecil, sering kali menuntut hal besar, maka orang tua yang baik akan mempertimbangkan dan tidak langsung mengabulkan. Diakui, bahwa ipad, tab dan sebangsanya dengan sekian varian game elektronik memang keren dan simbol anak moderen. Orang tuanya juga merasa sebagai keluarga trendy jika anaknya lihai sentah-sentuh layar. Tapi apa manfaatnya?. Semua ahli pendidikan sepakat, bahwa "itu barang" sangat berefek negatif pada prilaku anak, lelet berinteraksi, cepat emosi, maunya cepat dilayani, bahkan, jika sedang asyik bermain, dipanggil siapapun tak akan peduli. Tak sedikit orang tua marah-marah mengancam hendak membanting iped mainan anaknya.
Dialah Umar ibn al-Khattab yang punya kata-kata: " 'alliqu al-sauth". Sediakan cemeti di rumah kalian dan gantungkan". Secara fisik memang begitu, di rumah Umar ada cambuk kecil yang digantungkan di sudut dinding. Gunanya jelas, untuk menghukum secara fisik anaknya yang tidak patuh, malas belajar atau malas beribadah. Tapi diriwayatkan pukan pula, bahwa cambuk itu tidak pernah dipakai. Ini yang hilang di rumah kita, di sekolah kita, di TPQ kita. Era keterbukaan yang didampingi HAM amat kuat menjadi penguasa hingga kebablasan dan mereduksi sebagian piranti pendidikan menuju anak shalih, ahli ibadah dan berakhlaq mulia.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Menggantungkan cemeti di rumah bukanlah simbol kekerasan, melainkan simbol pendidikan yang mengandung makna peringatan terus menerus terhadap seluruh anggota kelurga agar senantiasa berusaha patuh dan taa beribadah dan tidak mencoba-coba melanggar. Cemeti yang digantungkan juga dimaksudkan aman dari jangkauan anak-anak dan tidak dibuat main-main. Maka tertanamlah di hati anak-anak, bahwa cemeti khusus itu tidak lagi sebagai barang mainan, melainkan malaikat yang terus mengawasi dan siap mengekskusi.
Meski demikian, Umar R.A. tak pernah mencemeti anaknya sendiri, sehingga semua anaknya menjadi orang-orang bagus dan patuh. Dialah bernama Ashim, anak lelaki Umar yang cakap dan cakep, menurut begitu saja terhadap pilihan orangtuanya menikahi Laila, anak perempuan penjual susu eceran. Umar yang presiden itu tidak malu besanan dengan keluarga miskin. Hasilnya, dari pernikahan ini lahir khalifah Umar ibn Andil Aziz yang kesohor adil dan sangat amanah.
Tiap Bangsa Miliki Nabi Sendiri
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
"walikull qaum had", setiap bangsa punya nabi sendiri-sendiri. Setiap daerah punya tokoh agama sendiri-sendiri. Setiap desa punya ustadz sendiri-sendiri. Itu merupakan servis Tuhan kepada umat manusia agar tidak kosong tanpa pengetahuan agama, sekaligus menampik seseorang yang tidak beriman dengan alasan tidak mengerti keislaman.
Di sini Tuhan membedakan, antara benar-benar tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Yang benar-benar tidak mengerti karena benar-benar tidak ada juru dakwah yang pernah ia jumpai, maka Tuhan memberlakukan sebagai umat zaman fatrah, tidak ada sanksi neraka, begitu menurut kaum sunny. Tapi golongan Mu'tazilah tak sependapat. Mereka tetap terkena hukuman karena tidak berupaya menggunakan akal sehatnya. Bagi mereka, akal cukup sebagai modal mendapatkan hidayah.
Era informasi sekarang menunjang sebaran keislaman meluas dan merata, sehingga hampir setiap sudut kehidupan bisa didapatkan informasi soal keislaman. Di sini, penting sekali mengisi materi dakwah islamiah melalui media elektronika yang isinya berupa tawaran-tawaran keislaman termasuk alamat-alamat elektronik yang bisa dikunjungi. Wajib bagi umat Islam yang mumpuni mengisi media dakwah ini menurut kemampuan masing-masing.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Penceramah Berilmu Pasti Malu Bernyanyi
Dalam edisi kemarin dikisahkan jika setiap Negara akan memiliki nabi sendiri-sendiri. Era informasi sekarang menunjang sebaran keislaman meluas dan merata, sehingga hampir setiap sudut kehidupan bisa didapatkan informasi soal keislaman. Di sini, penting sekali mengisi materi dakwah islamiah melalui media elektronika yang isinya berupa tawaran-tawaran keislaman termasuk alamat-alamat elektronik yang bisa dikunjungi. Wajib bagi umat islam yang mumpuni mengisi media dakwah ini menurut kemampuan masing-masing.
Untuk itu, ustadz di sebuah desa adalah nabi bagi penduduk desa itu. Maka sang ustadz dituntut terus menimba ilmu agama, karena nabi tidak pernah berhenti menyerap ilmu. Terus menerus belajar sebisanya itulah ciri kenabian, tapi suka tampil dan menikmati fasilitas show adalah ciri pendeta Yahudi dan nasrani zaman dulu. Makanya, andai ada ustadz-ustdzan yang minim ilmu agama tapi kaya tampilan entertainment, rasanya orientasi materi lebih kuat ketimbang sebagai juru bicara Tuhan maupun misi kenabian sejati.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Orang berilmu pasti tidak mau tampil pas-pasan, karena takut keliru dan itu beresiko besar yang mesti dipertanggungajawabkan kelak di pengadilan Tuhan. Sedanghkan penceramah dagelan dan penceramah penyanyi tidak takut soal resiko ini. Orang berilmu pasti malu melawak, menyanyi dan jogetan di tengah-tengah pengajian. Itu tidak patut, mosok kiai menyerukan ketakwaan kok ngajak umat islam jogetan. Penceramah minim ilmu juga tidak malu dipanggil kiai, bahkan menikmati panggilan itu tanpa reserve. Sebab bisa malu itu juga butuh ilmu tersendiri.
Al-Qur'an al-Karim memberikan garis batas yang mudah dan tegas untuk mengukur mana orang mukmin beneran dan mana yang munafik. Mukmin beneran pasti mengajak yang ma'ruf, yang baik-baik dan mencegah yang munkar. Sedangkan orang munafik sebaliknya (al-Taubah: 71 dan 67). Rumusan ini ampuh dan pasti benar untuk menilai keimanan seseorang. Apakah artis yang membuka aurat, berggoyang, berjoget, menebar dosa di hadapan publik itu orang beriman sungguhan atau munafik ?.Penceramah yang ngajak bernyanyi, berjoget, apakah itu kiai sejati atau penceramah munafik?. jika anda merujuk al-Qur'an, maka anda pasti bisa menilai sendiri secara lugas tanpa reka-reka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News