CIREBON, BANGSAONLINE.com - Meski nama KH Abdul Chalim termaktub sebagai Naibul Katib atau Katib Tsani (Wakil Sekretaris) dalam struktur kepengurusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode pertama, namun masyarakat - termasuk warga NU - banyak yang belum tahu siapa dan apa peran besar ulama asal Cirebon ini.
Saya – sekali lagi - sangat beruntung sempat ziarah ke makam ulama yang sangat berperan dalam melahirkan NU itu. Maqbarah atau makam ulama berparas tampan itu terletak di Desa Leuwimunding Kecamatan Leuwimunding Kabupaten Majalengka Cirebon Jawa Barat.
Baca Juga: Kampanye Akbar, Tak Banyak Pidato, Khofifah dan Gus Barra Sibuk Bagi Souvenir & Borong Kue Pengasong
Suasana makamnya selain tampak sederhana juga tenang dan menyejukkan batin para peziarah. Tanpa nisan buatan seperti pada umumnya, makam Kiai Abdul Chalim cuma ditandai dua batu hitam dan pohon bunga yang tumbuh asri. Dua batu hitam itu diletakkan di antara batu-batu putih yang tertata rapi.
Catatan sejarah tentang Kiai Abdul Chalim memang sangat minim. Padahal Kiai Abdul Chalim yang kabarnya sangat disayangi Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy'ari, pendiri NU, itu dikenal sebagai penulis buku, termasuk sejarah NU periode awal.
Di makamnya ada "sejarah singkat" yang ditempel di dinding. Pada "sejarah singkat" itu selain dipasang lambang NU juga ada foto Kiai Abul Chalim. Di situ tertulis bahwa Kiai Abdul Chalim lahir di Leuwimunding pada 1898 dan wafat pada 1972. Peran penting Kiai Abdul Chalim juga ditulis, yaitu sebagai pendiri dan komunikator berdirinya NU.
Baca Juga: Elektabilitas Terus Melejit, Khofifah: Banyak Doa Kita Temukan di Pasar
Kiai Abdul Chalim juga tercatat sebagai penulis buku-buku sejarah perjuangan KH Abdul Wahab Hasbullah, perintis Pergunu dan anggota MPRS RI. Ia juga tertulis sebagai Khatib Tsani PBNU Pertama.
Dari segi silsilah, ternyata Kiai Abdul Chalim keturunan Sunan Gunung Jati. Ia lahir dari pasangan Kedung Wongsagama dan Nyai Satimah.
Dr KH Asep Saifuddin Chalim, putra Kiai Abdul Chalim, yang kini jadi ulama besar dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur mengaku baru belakangan ini mau berbicara tentang ayahnya itu di muka umum. ”Ya setelah saya punya uang (kaya-red). Dulu saya sewaktu melarat (miskin) tak pernah bicara ayah saya sebagai pendiri NU. Saya gak PD (percaya diri) dan takut dikira ngaku-ngaku,” kata Kiai Asep Saifuddin Chalim kepada bangsaonline.com sembari tersenyum.
Baca Juga: Ketum Pergunu Prof Kiai Asep: Ratu Zakiyah Simbol Idealisme Kita
Kini setelah ia popular sebagai ulama besar dan disebut-sebut sebagai ulama terkaya di Jawa Timur ia mulai menjelaskan siapa ayahnya itu. “Ayah saya itu temannya Kiai Abdul Wahab Hasbullah ketika belajar di Makkah,” tuturnya.
Sepulang dari Makkah, tutur Kiai Asep, Kiai Abdul Wahab Hasbullah pulang ke Jombang Jawa Timur, sedang ayahnya pulang ke Cirebon Jawa Barat. Kiai Abdul Wahab yang mulai aktif mendirikan organisasi lalu sering di Surabaya.
Saat itulah Kiai Abdul Wahab minta agar Kiai Abdul Chalim ke Surabaya. Maklum, saat mereka berdua belajar di Makkah punya komitmen untuk berjuang memerdekaan Republik Indonesia (RI) yang saat itu dijajah Belanda. ”Ayah saya ke Surabaya jalan kaki dan hanya berbekal kunir. Jadi ayah saya hanya makan kunir,” kata Kiai Asep.
Baca Juga: Kiai Asep Bentuk Saksi Ganda Mubarok dan Khofifah-Emil, Gus Barra Siap Biayai Siswa Berprestasi
Tampaknya jalan kaki dan hanya makan kunir itu merupakan bagian dari tirakat Kiai Abdul Chalim. Karena banyak sekali ulama atau kiai Jawa Barat seperti kiai dari Banten, Cirebon dan sebagainya melakukan tirakat dengan jalan kaki jika ziarah ke makam keramat ulama besar dan berpengaruh.
Bahkan sampai tahun 70-an saya sering menyaksikan banyak sekali para musafir asal Cirebon dan Banten jalan kaki ketika ziarah ke makam Syaikhona Cholil bin Abdul Latif Bangkalan dan Kiai Syamsuddin Batu Ampar Madura. Saya tahu mereka karena rumah saya - atau lebih tepatnya rumah orang tua saya - di pinggir jalan raya di Patemon Tanah Merah Bangkalan Madura.
Jadi saat masih kecil saya sering menyaksikan orang-orang asal Cirebon dan Banten itu berjalan kaki di depan rumah saya. Pakaian mereka khas. Mereka pakai celana selutut dan sarung bahkan banyak yang bersorban. Mereka bawa tongkat dan bekal yang digendong di punggungnya.
Baca Juga: Kiai Asep Yakin Mubarok Menang dalam Pilkada Mojokerto 2024, Inilah Target Kemenangannya
Dari mana saya tahu mereka asal Cirebon dan Banten atau dari Jawa Barat? Bukankah saya saat itu masih sangat kecil? Mereka sering mampir ke masjid untuk salat. Masjid itu tak jauh dari rumah saya. Saat itulah kadang terjadi komunikasi dengan jamaah masjid meski hanya sekedar tanya dari mana dan mau ke mana. Saya yang masih kecil hanya mendengarkan dari para jamaah yang melakukan komunikasi denga para musafir itu.
Jadi tirakat jalan kaki itu memang biasa dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Bahkan ketika saya masih kecil juga jalan kaki ketika ziarah ke makam Syaikhona Cholil pada malam 21 atau 27 Ramadan. Bersama para ustadz dan teman ngaji di kampung kami jalan kaki ke makam Syaikhona Cholil yang jaraknya sekitar 15 kilo meter dari kampung saya.
Karena itu wajar jika Kiai Abdul Chalim ke Surabaya jalan kaki dan hanya makan kunir. (bersambung/MA)
Baca Juga: Kagumi Prestasi Amanatul Ummah, Kementerian Pendidikan Malaysia Studi Banding ke Pacet Mojokerto
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News