Tanya Jawab Islam: Mengawini Anak Hasil Zina

Tanya Jawab Islam: Mengawini Anak Hasil Zina Tanya Jawab Islam: Mengawini Anak Hasil Zina

>>>>>> Rubrik ini menjawab pertanyaan soal Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan pembimbing Dr. KH. Imam Ghazali Said. SMS ke 081357919060, atau email ke bangsa2000@yahoo.com. Jangan lupa sertakan nama dan alamat. <<<<<<

Pertanyaan:

Yang kami muliakan KH. DR. Imam Ghazali di kediaman. Bagaimana hukum / apa boleh mengawini anak zina, sedangkan yang mengawini adalah orang yang menzinai ibunya anak zina tersebut? Kalau boleh siapa walinya? Kami haturkan terimakasih. (Afandi, Pamekasan, Madura)

Jawab:

Di dalam Islam tidak dikenal istilah anak zina kecuali hanya mempermudah istilah saja seperti waladu al-zina (anak zina), sebab semua anak terlahir dalam kondisi fitrah dan suci. Pelakunya lah yang seharusnya mendapatkan sebutan orang berzina sebagaimana Alquran menegaskan istilah itu.

Para ulama sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak menanggung dosa sama sekali, ia suci bersih dari dosa, yang berdosa adalah orang tuanya. Dan dalam masalah nasab keberadaan anak ini memang agak diperdebatkan. Yang disepakati oleh para ulama adalah bahwa tersambungnya nasab anak zina ini kepada ibunya saja dan hubungan ini sah menurut syariat tapi bukan kepada bapaknya, alias orang laki-laki yang berbuat zina dengan ibunya. Maka jika anak zina itu laki-laki, Ibu yang melahirkan adalah ibunya yang sah secara syar’i maka tidak boleh menikahinya.

Yang menjadi problem berikutnya adalah jika anak zina itu perempuan, sebab sebagian fuqoha’ tidak menganggap hubungan antara keduanya sebagai hubungan nasab, konsekuensinya adalah antara anak wanita itu dengan bapaknya adalah bukan nasab, bukan mahrom dan akhirnya boleh untuk dinikahi. Apa benar seperti demikian?

Para ulama terdahulu sudah membahas pertanyaan semacam ini, dan mereka terpecah menjadi dua pendapat. Pendapat pertama, menyatakan bahwa tidak boleh anak zina (perempuan) dinikahi oleh bapak biologisnya sendiri. Kelompok ini berpandangan bahwa walaupun tidak ada hubungan nasab antara keduanya, namun mereka masih mempunyai alaqah juzi’yyah (hubungan kecil) antara keduanya. Sebab hakikatnya masih memiliki hubungan biologis, yaitu bibit sperma berasal dari sang bapak. Kelompok ini juga berpegangan dengan ayat Alquran yang berbunyi :

“diharamkan bagimu menikahi ibu-ibumu dan anak-anak wanitamu ...”.(Qs. Al-Nisa’:23)

Ibnu Abbas juga melaporkan bahwa Hilal bin Umayyah yang diduga melahirkan anak dari hasil hubungan zinanya dengan lelaki bernama Syarik bin Syahma’, saat itu Rasul bersabda:

“Perhatikanlah anak perempuan itu, jika ia lahir dengan sifat yang menyerupai dia (syarik), dengan ciri-ciri seperti ini dan itu, maka anak itu dari Syarik bin Syahma’”. (Hr. Bukhari)

Hal ini menunjukkan bahwa Rasul mengakui keberadaan biologis antara anak dengan bapaknya walupun itu dengan perbuatan zina. Artinya hubungan mereka berdua secara nasab memang tidak diakui, namun secara biologis masih ada alaqah juzi’yyah tadi.

Pendapat kedua, kelompok yang membolehkan mereka untuk menikah sebab antara keduanya dianggap tidak mempunyai hubungan nasab. Maka mereka tidak saling mewarisi dan bukan lah mahram, sehingga boleh saling menikah. Namun pendapat ini lemah dan tidak didukung oleh banyak mayoritas fuqoha’.

Mayoritas fuqoha’ walaupun mereka meyakini tidak ada hubungan nasab antara keduanya, namun mereka masih meyakini masih ada hubungan sebagian tadi yaitu hubungan biologis tersebut. Dan untuk anak wanita hasil zina ketika akan menikah (dengan siapapun) yang menjadi wali nikahnya adalah wali hakim, sebab ia tidak memiliki bapak yang sah dan syar’i. Dalam hal ini di Indonesia diwakili oleh KUA. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO