PACITAN, BANGSAONLINE.com - Bupati Pacitan Indartato mengajak semua masyarakat untuk selalu nguri-uri budaya luhur peninggalan nenek moyang. Sebab, banyak nilai-nilai ketauladanan yang diajarkan dari uraian sejarah tersebut.
Salah satunya budaya ceprotan, yang sampai detik ini masih terus dijaga dan dilestarikan masyarakat di Pacitan, khususnya di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo.
Baca Juga: Rontek Gugah Sahur Dilarang Selama Ramadhan Tahun ini
"Jaga dan terus lestarikan budaya Adi luhung. Sebab banyak nilai-nilai ketauladanan yang indah dan layak diwariskan untuk anak cucu kita," terang Indartato saat mengikuti prosesi ceprotan di Desa Sekar, Minggu (30/7) kemarin.
Budaya ceprotan, konon ceritanya diilhami dari sebuah kisah seorang putri raja yang pergi meninggalkan kerajaan. Dia dikenal dengan nama Dewi Sekartaji. Menurut cerita beberapa tokoh sejarah di Pacitan, Dewi Sekartaji sengaja lari dari istana untuk berkelana mencari kekasihnya, Panji Asmorobangun.
"Di tengah pengembaraannya, Dewi Sekartaji sempat berhenti di sebuah tempat," ujar Ki Jolotundo, salah seorang pemerhati sejarah di Pacitan, Senin (30/7).
Baca Juga: Ribuan Warga Banjiri Halaman Pendopo Saksikan Prosesi Kirab Agung Hari Jadi Pacitan ke-275
Di tempat peristirahatan itulah, sang Dewi bertemu dengan seseorang yang tengah membakar hutan. Dia adalah Ki Ghodeg. Lantaran merasa letih dan dahaga, Dewi Sekartaji meminta air kepada Ki Ghodeg. Lantaran di lokasi itu sangat gersang, tentu tak ada air. Ki Ghodeg lantas mencarikan kelapa muda untuk diberikan kepada sang Dewi.
"Seketika diminumlah air kelapa muda itu, namun tak sampai habis. Lantas sisa air kelapa itu oleh Ki Ghodeg disiramkan ke bebatuan sambil bersabda, 'Sang Dewi, air ini akan menjadi sumber air yang tak akan pernah kering, dan akan menjadi sumber kehidupan'. Sebagai lambang keabadian, sumber tersebut diberi nama Sekar," tutur Jolotundo, sekilas menceritakan sejarah ceprotan.
Lebih jauh, Jolotundo mengungkapkan, suatu hari tepatnya Senin Kliwon Bulan Longkang, Ki Ghodeg mengadakan ritual dengan menghadiahkan ayam panggang, kelapa muda, serta ubo rampe lainnya. Saat ritual berlangsung, sempat terdengar teriakan serta sorak-sorai peserta. Bahkan juga ada salah satu peserta yang mengambil panggang sesaji. Sontak peserta lainnya mengejar peserta tersebut dan melemparinya dengan bluluk atau kelapa muda yang juga diambilnya dari sesaji tersebut.
Baca Juga: Sepak Bola Brojo Geni Kembali Digelar di Pacitan
"Melihat fenomena itu, bersabdalah Ki Ghodeg bahwa setiap tahun di Desa Sekar, tepatnya pada hari Senin Kliwon Bulan Longkang, harus diperingati dengan ritual melempari orang yang membawa lari panggang sesaji dengan bluluk. Ritual itu sebagai simbol menghilangkan pengaruh buruk di desa tersebut. Sejak saat itulah setiap Bulan Longkang selalu diadakan kegiatan bersih desa dan ritual ceprotan sebagai simbol hari jadi desa tersebut," pungkasnya. (yun/dur)
Baca Juga: Seni Rontek Pacitan Bakal Jadi Media Promosi Budaya Nasional
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News