Aswaja, dari Islam Tradisional ke Islam Kosmopolitan

Aswaja, dari Islam Tradisional ke Islam Kosmopolitan M. Mas'ud Adnan

Oleh: M Mas'ud Adnan...


BANGSAONLINE.com - Pada Sabtu, 20 September 2014, saya diundang sebagai nara sumber dalam diskusi yang digelar Dewan Pengurus CabangPartai Kebangkitan Bangsa (DPC PKB) Kabupaten Sidoarjo di Hotel New Star, Trawas Mojokerto. Topiknya menarik: Politik Rahmatan Lil ‘Alamin dalam perspektif Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Pesertanya selain para anggota DPRD dari FKB juga pengurus DPC dan PAC se-Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur.

PKB memang telah menjadikan konsep ”Rahmatan Lil ‘Alamin” sebagai framing, paradigma, bahkan ideologi sekaligus tagline politik. Konsekuensinya,pengurus, anggota dan simpatisan PKB yangsecara mainstream berbasis budaya tradisional harus beradaptasi dengan jagat kosmopolit dan universal seperti yang diteladankan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Definisi kosmopolit sangat beragam. Namun dalam perspektif ini kita batasi secara sederhana agar kita tak terjebak pada perdebatan semantik. Secara leksikal Kosmo (dalam bahasa Yunani) berarti jagat atau semesta. Sedangkan Polit yang diambil dari kata Polis berarti kota. Jadi secara terminologis, kosmopolit berarti sebuah kota yang kebanyakan penduduknya beragam, terdiri dari berbagai kebudayaan, sistem pengetahuan, dan tradisi masing-masing. Mereka berkumpul dalam satu tempat dan mengalami pergumulan dialogis satu sama lain. Jadi kosmopolit adalah kota yang penduduk dan kebudayaannya berasal dari jagat yang berbeda-beda.

Ini berarti, warga PKB dalam mengejewantahkan politik Rahmatan Lil ‘alamin itu tidak hanya paham dan hidup dalam lingkup kultur NU, tapi juga memasuki dunia yang lebih luas, universial dan bahkan mondial (mendunia).Karena itu dituntut mengedepankan pluralitas.

Persoalannya, siapkah warga PKB secara mental dan budaya? Bagaimana dengan paradigma Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja)?

Membumikan Aswaja

Ketika kita menganalisis tentang paham Aswaja sering kita terjebak kepada paham yang absrak. Kita seolah hanya berkutat pada paradigma konseptual tanpa fakta kongkrit. Padahal suatu paham dan ajaran itu bisa berguna dan bermanfaat secara maksimal kalau mengejewantah ke dalam realitas sosial, kehidupan kongkrit kita sehari-hari.

Pada tahun 80-an terjadi perdebatan tentang pembaharuan pemikiran Islam yang dimotori oleh Gus Dur dan Dr Nurcholis Madjid (Cak Nur). Saat itu banyak sekali intelektual muslim yang secara apologis mengatakan: harus dibedakan antara ajaran Islam dan perilaku orang Islam. Menurut mereka, ajaran Islam itu mulya dan luhur, sedang perilaku umat Islam tak mencerminkan ajaran Islam. Jadi ajaran Islam jangan diidentikkan dengan perilaku umat Islam.

Menanggapi pernyataan itu, seorang komunis saat itu langsung menukas: Kalau begitu untuk apa beragama, kalau ternyata antara agama yang dianut dan perilaku sehari-hari tak sesuai dengan agamanya. Percuma saja beragama. Mending tak beragama tapi perilakunya baik, ketimbang beragama tapi perilakunya jelek.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO