SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Sebagai kota metropolitan, Surabaya menjadi barometer di tingkat nasional, termasuk dalam kontestasi politik. Tak heran pemilihan kepala daerah di Surabaya menjadi magnet nasional seperti Kota Bandung dan Jakarta.
Melihat fakta itu, pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam menilai wajar kalau kepala daerah dari Kabupaten maupun Kota lain di Jawa Timur berminat untuk naik level memimpin Surabaya. Karena siapa pun yang menjadi pemimpin di Kota Surabaya secara otomatis akan menjadi tokoh nasional. Ini jelas merupakan investasi politik yang luar biasa.
Baca Juga: Bawaslu Kota Surabaya Serahkan Laporan Hasil Pengawasan Pilkada 2020 ke Pemkot dan DPRD
"Kepala daerah dari daerah lain punya kans untuk lompat ke Surabaya. Karena mereka punya modal politik untuk bersaing. Apalagi kalau mereka berprestasi saat memimpin daerahnya, maka kans nya semakin besar," ujar Surokim, Minggu (20/1).
Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) ini menjelaskan dalam survei SSC periode Desember ada kepala daerah di luar Surabaya yang menjadi pilihan responden. Mereka adalah Ipong Muchlissoni, Bupati Ponorogo dan Mohammad Nur Arifin, Wakil Bupati Trenggalek.
Selain dua nama itu, Surokim menilai sosok Baddrut Tamam Bupati Pamekasan juga dianggap layak lompat ke Surabaya. Sosok politikus muda PKB itu semakin dikenal saat Kabupaten Pamekasan meraih Piala Adipura 2018 dengan kategori kota kecil terbersih secara nasional.
Baca Juga: Dilantik Besok Sore, Ini Harapan Warga Surabaya kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Baru
Meski baru memimpin, Baddrut Tamam punya prestasi di Pamekasan. Inovasinya dalam pelayanan izin satu atap dan memperkenalkan batik Pamekasan mendapat apresiasi publik.
"Dalam survei SSC kemarin, nama Baddrut Tamam juga ikut disebut responden tapi persentasenya kecil. Sebab selama ini Tamam belum pernah bicara soal pilwali Surabaya seperti kandidat lain. Karena itu namanya juga belum terkaver media yang menjadi sumber informasi warga Surabaya," tutur Dekan FISIB Universitas Trunojoyo ini.
Soal stigma kepala daerah atau politikus kutu loncat yang dialamatkan kepada kepala daerah yang pindah ke daerah lain sebelum masa tugasnya berakhir, menurut Surokim pelan-pelan mulai terkikis. Stigma kutu loncat itu juga pernah dialamatkan kepada Bupati Trenggalek, Emil Dardak saat maju sebagai Cawagub Jatim pada pilgub 2018.
Baca Juga: Pascapilkada, Jaman Jatim Evaluasi Pembekuan Jaman Surabaya
Tapi dengan keseriusan Emil, akhirnya masyarakat bisa menerima langkah politik suami Arumi Bachsin itu, karena masyarakat melihat Emil layak mendapatkan tempat yang lebih baik. Hal itu tak lepas dari keberhasilan Emil meyakinkan masayarakat kalau langkah politiknya itu bukan pragmatis.
"Masyarakat semakin cerdas dan bisa menilai mana yang pragmatis dan mana yang berbasis pengabdian yang lebih luas. Saya kira stigma kutu loncat itu bukan menjadi momok lagi," pungkas Surokim. (mdr/ian)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News