SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Dewan Pers menggelar Sosialisasi Pedoman Pemberitaan Media Ramah Anak (PPRA) di Hotel Wyndham Surabaya, Kamis (4/7).
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menjelaskan bahwa anak merupakan pilar utama bagi masa depan bangsa. Membangun dan mempersiapkan anak sebagai generasi selanjutnya itu wajib. Termasuk menciptakan atmosfir positif melalui tulisan yang bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat dan anak-anak.
Baca Juga: Indeks Kemerdekaan Pers Nasional Turun Lagi
"Media harus menjadi bagian dalam mendidik bangsa. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari pemberitaan negatif agar dapat tumbuh dengan wajar," jelasnya.
Sesuai amanat Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, media massa turut serta memberikan perlindungan bagi anak.
“Jika anak itu tumbuh dengan baik, maka media punya kontribusi dalam pembentukan anak menjadi orang baik,” ujar Mohammad Nuh.
Baca Juga: Daftar Media Cetak dan Online di Kota Surabaya Jawa Timur
Menurutnya, informasi yang disampaikan bagus akan jadi berita bagus. Karena bisa memberikan informasi yang bermanfaat. Kehadiran berita harus bisa menjadi enlightenment (pencerahan).
"Biasakan memberikan informasi berdasarkan data yang akan kita olah. Hati-hati pada saat menulis berita itu, jangan hanya sekadar mencari popularitas semata," pesannya.
Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar mengatakan bahwa media hendaknya tidak mengangkat sisi yang dapat menutup masa depan anak seperti pelabelan dan diskriminasi dalam pemberitaan yang berkaitan dengan anak. Karena menurutnya, hal ini merupakan bagan dari proses panjang kehidupan.
Baca Juga: Dewan Pers Siap Cabut Izin Media Jika Oknum Wartawan Terbukti Lakukan Intimidasi Hingga Pemerasan
"Baik anak sebagai korban, pelaku, ataupun saksi, semua anak yang berhadapan dengan hukum merupakan korban," katanya.
"Dengan mengikuti pedoman ini dalam memberitakan kasus yang melibatkan anak, media secara langsung telah turut melindungi anak dan memastikan anak-anak tersebut tidak memiliki masa depan yang lebih berat," tambah Nahar.
Baca Juga: Jelang Pilkada 2024, AJI Bojonegoro Ingatkan Jurnalis dan Media Bersikap Independen
(Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar dan Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun saat menjadi narasumber sosialisasi Pedoman Pemberitaan Media Ramah Anak (PPRA))
Sementara Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun mengungkapkan, ada 12 poin yang ada di dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak tersebut. Salah satunya tentang identitas anak, baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku tidak boleh ditulis.
"Identitas itu bukan hanya nama saja yang harus ditulis inisialnya, tetapi umur, nama keluarga (ayah, ibu, kerabat), ciri-ciri fisik, perkumpulan, dan lainnya," ungkapnya.
Baca Juga: Melarang Investigasi, Dewan Pers Tolak Draf Revisi UU Penyiaran
Kemudian untuk wajah anak tidak boleh ditampakkan sekalipun diblur. Sedangkan untuk alamat rumah, Henry menegaskan bahwa tidak boleh ditulis secara lengkap. Ia membatasi penulisan alamat hanya sampai pada tingkat kecamatan saja. Untuk usia anak dari 0-18 tahun yang wajib dilindungi.
"Kita harus betul-betul menjaga identitas anak, hukumnya wajib. Berita anak ini sifatnya informatif saja, bukan untuk eksploitatif. Untuk sekadar tahu saja bahwa pernah terjadi satu peristiwa," tuturnya.
Hendry juga berpesan untuk aktif mengadu supaya pihaknya bisa memetakan persoalan. Ia mengaku, sosialisasi ini dilakukan untuk menjaga masa depan anak-anak Indonesia yang merupakan aset bangsa.
Baca Juga: Puncak Peringatan HPN 2024, PWI Tuban Ajak Kades Diskusi Bareng Dewan Pers
Berikut ini situasi dan kondisi anak yang memerlukan perlindungan khusus:
1. Anak dalam situasi darurat;
2. Anak berhadapan dengan hukum;
Baca Juga: Hindari Conlict of Interest, Perusahaan Pers Tak Masuk Komite Publisher Right
3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
4. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
5. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan NAPZA;
Baca Juga: Perpres Hak Penerbit Telah Diteken, Jokowi Ingin Kerja Sama Pers dan Platform Global Lebih Adil
6. Anak yang menjadi korban pornografi;
7. Anak dengan HIV/AIDS;
8. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
9. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
10. Anak korban kejahatan seksual;
11. Anak korban jaringan terorisme;
12. Anak penyandang disabilitas;
13. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
14. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
15. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orangtuanya.
Pedoman Pemberitaan Ramah Anak sesuai Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2019 Tanggal 9 Februari 2019:
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. (ian/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News