SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Tensi politik di Kota Surabaya makin tinggi jelang pemilihan langsung wali kota (Pilwali) Surabaya. Sejumlah figur mulai bermunculan, bahkan beberapa di antaranya sudah turun ke bawah untuk menyapa masyarakat.
Persaingan di antara bakal calon pun semakin terlihat, terutama di tataran pendukung atau tim sukses. Mulai saling sindir di media sosial hingga kampanye negatif di akar rumput. Lia Istifhama mengakui mengalami hal tersebut. Ia mengaku disindir sebagai bakal calon wali kota bondo nekat (modal nekat) alias bonek.
Baca Juga: Bawaslu Kota Surabaya Serahkan Laporan Hasil Pengawasan Pilkada 2020 ke Pemkot dan DPRD
"Saya disindir Cawali bonek atau bondo nekat. Saya ucapkan Alhamdulillah, tidak apa. Memang saya orang asli Surabaya. Wong Suroboyo memang memiliki semangat tinggi untuk berikhtiar. Pede aja, Bonek itu memang karakter khas Surabaya," ujar Lia, Jumat (6/9).
Semifinalis Ning Surabaya 2005 ini mengungkapkan, karakter nekat justru harus dimiliki untuk bisa maju. Ia mencontohkan persaingan dalam bidang usaha atau entrepreneur yang sangat ketat. Sebab, pengusaha sukses saat ini umumnya adalah generasi kedua hingga ketiga. Mereka meneruskan dan mengembangkan usaha orangtua atau kakeknya.
"Ibarat orang mau jadi pengusaha, masak iya, harus dari anak orang kaya yang bergelimang harta? Buktinya, banyak kan, wong Suroboyo yang sukses meski dari kalangan sederhana. Itu karena mereka punya karakter nekat dan gak minder," tandas Ketua III STAI Taruna, Surabaya tersebut.
Baca Juga: Dilantik Besok Sore, Ini Harapan Warga Surabaya kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Baru
Koordinator Bidang Pengembangan Dakwah Pimpinan Wilayah Fatayat NU Jawa Timur ini membeberkan, dirinya memang lebih banyak bergerak menyapa grassroot (akar rumput) ketimbang di tataran elit. Karena itu, tak heran sosoknya banyak dibicarakan di warung kopi yang merupakan tempat berinteraksi masyarakat bawah.
Karena itu, kalau dari fakta tersebut dirinya dianggap sebagai calon Bonek, alumni Unair dan Uinsa Surabaya ini mengaku tak mempersoalkan. Sebab sejatinya menyerap aspirasi masyarakat itu harus dari bawah, sehingga ia paham permasalahan warga Surabaya. Dari proses itulah ia bisa membuat konsep Nawa Tirta yang merupakan solusi permasalahan masyarakat Kota Surabaya.
"Saya ini memang muncul karena didorong dari bawah oleh elemen masyarakat dan kelompok relawan. Saya tidak muncul dari elit. Pendukung saya banyak dari kalangan bawah. Karena itu, poster saya pun banyak terdapat di warung-warung kopi. Itu simpatisan saya yang pasang dengan inisiatif sendiri dan swadaya," tandas keponakan Khofifah itu. (mdr)
Baca Juga: Pascapilkada, Jaman Jatim Evaluasi Pembekuan Jaman Surabaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News