Warga Papua di Jatim, Warga Jatim di Papua

Warga Papua di Jatim, Warga Jatim di Papua Em Mas'ud Adnan

Oleh: Em Mas’ud Adnan*

Peristiwa rusuh di Manokwari Barat, akibat insiden rasial dan perusakan bendera merah putih di Asrama Mahasiswa di Surabaya dan Malang Jawa Timur, membuka mata hati kita. Ternyata saudara kita warga asli yang kini mukim di Jawa Timur luar biasa banyak. Bahkan warga asli di Jatim kini tersebar di 38 kota dan kabupaten, baik sebagai mahasiswa, pekerja, maupun rumah tangga.

Baca Juga: Pemerintah Perpanjang Kontrak hingga 2061, Menteri ESDM: Cadangan Freeport Bisa Sampai 100 Tahun

Maka ketika demo politik rasial pecah di Manokwari, warga yang tinggal di berbagai kota di Jatim langsung “show of force” ke publik. Mereka menyampaikan pesan persaudaraan: wahai saudaraku di kampung halamanku, saudaramu warga bertebaran di seluruh bumi nusantara, terutama di Jawa Timur.

Di Jombang, misalnya, warga ramai-ramai ziarah ke makam Gus Dur. Di Blitar, mahasiswa asal ikut aksi damai di depan patung Bung Karno. Begitu juga di Madura, tepatnya di Pamekasan, warga asli tampil ke publik bersama aparat kepolisian.

Di Ngawi juga begitu. Warga yang tinggal di kabupaten ujung barat Jawa Timur itu secara vulgar menyampaikan salam persaudaraan. Dikemas dalam aksi damai, Marinus Sayori, salah seorang warga di Ngawi menyatakan: Kami Pace dan Mace (bapak dan ibu) jangan mendengar berita hoax yang tidak penting. Karena kita warga Negara Indonesia di bawah bendera merah putih, cinta Indonesia, kami cinta NKRI harga mati.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Bahkan di kabupaten Probolinggo, kabupaten basis NU, lebih konkret lagi. Warga asli jadi camat. Namanya Abdyh Ramim, Camat Gending. Jadi warga sudah hidup guyub dengan warga Jawa Timur. Apalagi di Malang, Surabaya, dan tentu juga di Jakarta dan suluruh Indonesia.

Bagaimana dengan warga Jatim di ? Justru warga Jatim yang tinggal di sangat besar. Salah satu warga Jatim yang cukup fenomenal di Barat adalah Ustadz Darto Saifudin. Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an al-Qalam di Manokwari Selatan itu menarik kita buat contoh, bukan saja karena ia hidup harmonis dengan para pendeta dan kepala suku, tapi juga punya pengalaman panjang dan menegangkan.

Ketika awal mendirikan pesantren ia dan keluarganya nyaris diserbu warga . Bahkan selama dua bulan kehidupan pesantrennya diselimuti ketegangan, karena ada ancaman penyerbuan. Ia pun mengungsikan keluarganya.

Baca Juga: 10 Orang Tewas Dalam Kericuhan di Wamena

Untung sebelum menyerbu, warga dari salah satu kampung yang terkenal garang itu mengirim utusan lebih dulu ke pesantren Ustadz Darto. Ternyata mereka kaget tatkala melihat foto Gus Dur dan kalender Pesantren Tebuireng terpampang di rumah Ustadz Darto. Darto memang alumnus Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.

“Gus Dur kitong pu bapak,” teriak mereka. Gus Dur adalah bapak kita.

Seketika itu juga para utusan yang semula bertampang garang dan seram langsung ramah dan lemah lembut. Mereka berangkulan dengan Ustadz Darto. Saat itu juga terungkap, ternyata mereka mau menyerang pesantren Ustadz Darto karena terprovokasi berita hoax. Isu yang beredar, Ustadz Darto melarang santrinya berjabat tangan dengan orang Nasrani: melarang santrinya membeli dagangan orang Nasrani. Padahal Ustadz Darto kader Nahdlatul Ulama (NU) yang paham keislamannnya moderat. Sedemikian moderat sampai Ustadz Darto membiarkan anjing yang mereka bawa berkeliaran di pesantrennya.

Baca Juga: Kunjungi Maibo, Gubernur Khofifah Siap Jadi Ibu Asuh Anak-Anak yang Mau Bersekolah di Jatim

Situasi berubah drastis. Para petinggi adat, suku dan pendeta di berikrar akan menjaga keamanan pesantren yang dipimpin Ustadz Darto. Bahkan saat Darto membangun asrama santri, Pendeta Absalina Lusia Lesnusa, MTh berkenan meletakkan batu pertama.

Walhasil, secara rasial, primordial, dan plural keberagamaan, sejatinya pondasi bangunan keindonesiaan sudah selesai dan kokoh. Sebab secara alami, akulturasi rasial, primordial dan plural keagamaan sudah melebur dalam bingkai keindonesiaan sejati, yakni dari bawah. Ini berarti, jika terjadi konflik rasial, primordial kedaerahan dan keagamaan, maka yang robek bukan hanya bendera merah putih, tapi juga mencabik “nasib keseharian” warga dan Jatim yang kini “berdomisili silang”.

Realitas ini makin menyadarkan rasa kemanusiaan kita, betapa tega para “petualang politik” yang secara ekonomi kelas menengah ke atas, menyulut petasan provokasi dengan bahan peledak berita hoax. Padahal risikonya - sekali lagi - bukan saja mengakibatkan bangsa tercabik, tapi juga mematikan “tungku api” kehidupan sehari-hari warga yang berdomisili di Jatim dan warga Jatim yang berdomisli di , terutama mereka yang kelas menengah ke bawah.

Baca Juga: Gubernur Khofifah Gelar Misi Dagang Perdana di Papua, Catatkan Transaksi Rp246 Miliar

Karena itu sangat stategis ketika Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa berencana membangun “asrama mahasiswa nusantara” atau “asrama mahasiswa nasional” atau apalah namanya. Asrama plural ini bukan saja akan menangkal gerakan “petualang politik” yang selama ini cenderung meracuni ideologi sparatis kepada mahasiswa di asrama mahasiswa eksklusif kedaerahan, tapi juga bisa menjadi “rumah bersama” para mahasiswa dari berbagai daerah sehingga bisa memupuk rasa persaudaraan, kekeluargaan yang guyub dalam bingkai NKRI dan Pancasila.

Anggaran tentu bisa ditanggung renteng alias subsidi silang: Pemerintah Pusat, , dan Jawa Timur. Gagasan cemerlang ini tentu jangan berhenti di Jatim dan , tapi perlu kita perluas ke seantero nusantara, misalnya, Aceh dan sebagainya. Sehingga dari Sabang sampai Merauke kita betul-betul jadi satu keluarga Indonesia.

*Em Mas’ud Adnan adalah Pemimpin Umum HARIAN BANGSA, BANGSAONLINE.COM dan BANGSAONLINE-TV

Baca Juga: Gubernur Khofifah ​Hadiri Forum Silaturahmi dengan Masyarakat Asal Jatim di Papua Barat Daya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Kembali Berduka! Ratusan Rumah di Papua Terbakar!':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO