Fiqh Antisipatif, Apa itu? Ini Penjelasan Kiai Afifuddin Muhajir

Fiqh Antisipatif, Apa itu? Ini Penjelasan Kiai Afifuddin Muhajir KH Afifuddin Muhajir. Foto: ist

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Para ulama tempo dulu ternyata tidak hanya alim dan cerdas, tapi juga punya pandangan futuristik (jauh ke depan). Terutama dalam ranah fiqh. “Ada yang namanya fiqh iftiradly atau fiqh antisipatif,” kata KH Afifuddin Muhajir, penulis kitab Fathu Al-Mujib Al-Qarib, kepada BANGSAONLINE.com, Senin (4/5/2020).

Kiai Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwa adalah rumusan hukum Islam yang dibuat oleh ulama tempo dulu dengan didasarkan pada pengandaian. “Jadi didasarkan pada peristiwa yang belum terjadi. Tapi pada saatnya (hukum itu) benar-benar dibutuhkan, seperti saat ini (covid-19),” kata Kiai Afifuddin Muhajir yang sehari-harinya aktif sebagai wakil pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

Baca Juga: KH Afifudin Muhajir: Akhlak Muktamar NU Alun-Alun Jombang Jangan Sampai Diulang

“Jadi () itu dibangun atas dasar pengandaian. Yakni mengandaikan terjadinya masalah atau kasus yang hakikatnya belum terjadi dalam kenyataan. Kemudian diadakan ijtihad dalam rangka menjelaskan hukum-hukumnya,” kata Wakil Rais Syuriah PBNU itu.

Lalu untuk apa fiqh antisipatif itu dibuat? Menurut Kiai Afifudin ada dua tujuannya. Pertama, ulama jaman dulu merumuskan fiqh iftiradly atau antisipasif itu sebagai persiapan. “Jangan-jangan masalah yang diandaikan itu benar-benar terjadi,” kata kiai yang dikenal santun itu.

Tujuan kedua, tutur Kiai Afifuddin, untuk melatih para pencari ilmu yaitu santri atau murid dalam menangani masalah yang diandaikan itu. “Imam Abu Hanifah adalah tokoh terkemuka (dalam fiqh iftiradly ini), meski Imam yang lain juga melakukan hal yang sama,” kata Kiai Afifuddin Muhajir.

Baca Juga: Bahas Kitab Kuning, Kiai Afifuddin: Ciri Khas Islam Realistis, Contoh Waliyul Amri pada Soekarno

Apa ada rujukan Haditsnya, Kiai? Kiai Afifuddin Muhajir lalu mengutip Hadits Shahih-Bukhari (muttafaq alaih) yang menceritakan sahabat Miqdad bin Amri Al-Kindi. Menurut Kiai Afifuddin, Miqdad bertanya kepada Rasulullah SAW. 

“Bagaimana pandangan Rasulullah jika saya bertemu orang kafir, kemudian saya bertengkar atau berperang. Kemudian orang kafir itu memukul (menebas) salah satu dari dua tangan saya dengan pedangnya, sehingga tangan saya putus. Tapi orang kafir itu kemudian bersembunyi, berlindung di bawah pohon. Lalu orang kafir itu mengatakan aslamtu billahi, saya pasrah kepada Allah, takluk. Apakah boleh saya membunuh orang kafir itu, setelah orang itu mengucapkan kata-kata itu,” tanya Miqdad kepada Rasulullah.

Rasullullah menjawab, “Kamu tak boleh membunuhnya,”.

Baca Juga: M. Mas'ud Said: Poin Penting Pidato KH Afifudddin: Pancasila Bukan Penghalang Penerapan Syariah

Miqdad lalu berkata, “Orang kafir itu telah benar-benar memotong tangan saya hingga putus. Setelah ia memotong tangan saya, ia baru mengucapkan kalimat itu (aslamtu billahi).”

Rasulullah tetap mengatakan  bahwa Miqdad tak boleh membunuh orang kafir yang sudah mengatakan aslamtu billahi itu. "Jika engkau membunuh, maka posisi orang itu sama dengan posisimu sebelum engkau membunuhnya. Dan posisimu sama dengan posisi dia sewaktu orang itu belum mengucapkan kalimat itu," dawuh Rasulullah SAW. (MA) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO