BOJONEGORO (BangsaOnline) – Kasri dan empat orang temannya yaitu Lasi, Lami, Supatmi,
dan Kasgotri, sibuk menarik dan membentangkan seutas tali di tengah
sawah di Desa Bonorejo, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, siang
itu. Tali itu dipakai untuk mengatur jarak benih padi yang akan ditanam.
Tidak lama kemudian, mereka menanam benih padi atau yang biasa disebut
tandur dengan cara menunduk berjalan pelan mundur ke belakang.
Kasri
dan teman-temannya memakai caping untuk melindungi diri dari panasnya
sengatan matahari. Mereka bekerja cukup cekatan. Dalam waktu tiga jam,
Kasri dan teman-temannya telah menyelesaikan menanam benih padi secara
rapi di lahan sawah seluas seperempat hektare tersebut.
Kasri
dan teman-temannya merupakan buruh tani di Desa Bonorejo yang berada di
daerah ladang minyak dan gas bumi (migas) Banyu Urip Blok Cepu di
Bojonegoro. Mereka bekerja secara kelompok dan menerima pekerjaan
sebagai buruh tani menanam padi atau tandur secara borongan.
Untuk
menanam benih padi saat musim tanam di lahan sawah seluas seperempat
hektare diberikan upah borongan sebesar Rp 200.000. Untuk lahan sawah
satu petak yang ukurannya lebih sempit misalnya biasanya mendapatkan
upah borongan sebesar Rp 150.000. Upah borongan yang diterima itu lalu
dibagi lima orang yang menjadi anggota kelompok buruh tani tandur
tersebut.
"Dalam sehari biasanya menerima dua sampai tiga
borongan tanam benih padi atau tandur. Borongan tandur seperti ini hanya
berlangsung saat musim tanam padi yakni saat musim hujan," tutur Kasri
sambil tangannya dengan lincah mencelupkan batang benih padi di sawah,
Sabtu (10/1/2015).
Kasri dan teman-temannya ini sudah puluhan
tahun menekuni pekerjaan sebagai buruh tani. Selain tanam padi atau
tandur, mereka juga biasanya diminta membersihkan gulma atau rumput pada
saat tanaman padi berumur sebulan hingga dua bulan. Selain itu, saat
masa panen padi mereka juga biasanya membantu menebas batang padi atau
merontokkan bulir padi menggunakan mesin buatan yang disebut dos.
Namun,
kata Kasri, seiring dengan adanya kegiatan industri minyak dan gas bumi
Banyu Urip Blok Cepu dampaknya lahan pertanian banyak berkurang.
Sebelum ada proyek migas Blok Cepu, kata Kasri, ia biasa memborong
menanam benih padi selama sebulan lebih. Selain di Desa Bonorejo, ia
juga diborong oleh para petani di Desa Mojodelik, Brabowan, Beged dan
sekitarnya.
"Namun sekarang, saya dan teman-teman hanya bisa
memborong menanam padi atau tandur paling lama sepuluh hari. Sebab,
lahan pertanian di sekitar proyek migas ini semakin sempit. Akibatnya,
pendapatan yang kami terima selama musim tanam padi ya banyak
berkurang," tuturnya.
Lahan pertanian di Desa Mojodelik yang
merupakan desa penghasil minyak dan gas bumi lapangan Banyu Urip Blok
Cepu misalnya kini tinggal 300 hektare. Sedangkan, lahan pertanian
seluas 400 hektare telah beralih fungsi menjadi lokasi industri migas
Banyu Urip Blok Cepu.
Menurut Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat
Kecamatan Gayam, Tamzil, berkurangnya lahan pertanian di desa-desa
sekitar ladang migas Banyu Urip Blok Cepu rawan menimbulkan gejolak
sosial. Mereka yang paling rawan jatuh miskin yaitu petani dan buruh
tani yang selama ini menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian.
"Petani
dan buruh tani itu keterampilannya ya menggarap lahan sawah. Kalau
lahan pertaniannya sudah tidak ada, maka mata pencaharian mereka juga
akan hilang," ujarnya.
Semestinya, kata dia, pada saat terjadi
pembebasan lahan pertanian untuk proyek migas Blok Cepu, maka petani
sudah disediakan lahan pengganti di luar desa atau kecamatan. Dengan
begitu, kata dia, mereka tetap bisa menggarap lahan dan mempunyai
penghasilan dari hasil pertanian.
"Kenyataannya banyak petani dan
buruh tani yang beralih bekerja menjadi kuli di proyek migas. Tetapi,
setelah proyek selesai, mereka kelimpungan," tuturnya.
Tak
heran meski ada proyek migas Blok Cepu di Bojonegoro terungkap angka
kemiskinan di sekitar ladang migas Blok Cepu cukup tinggi yakni mencapai
2.325 kepala keluarga.
Keluarga miskin ini tinggal di 12 desa
di wilayah ring satu lapangan Banyu Urip Blok Cepu yakni Gayam,
Ringintunggal, Begadon, Brabowan, Bonorejo, Beged, Mojodelik, Ngraho,
Katur, Sudu, Cengungklung, dan Manukan.
Sementara itu, lahan
persawahan di wilayah Kabupaten Bojonegoro tercatat seluas 77.522
hektare yang terdiri dari 36.151 hektar lahan irigasi dan 41.371 lahan
tadah hujan. Produksi padi di Kabupaten Bojonegoro pada tahun ini
ditargetkan sebanyak 960 ribu ton.
Baca Juga: Dorong Petani Mandiri, EMCL Adakan Program Sekolah Lapang Pertanian
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News