Oleh: M Mas'ud Adnan
Apollinaris Darmawan - seorang kakek – sangat rajin menghina dan memfitnah agama Islam dan Nabi Muhammad. Dari jejak digitalnya, Apollinaris yang non muslim itu kurang lebih 10 tahun menghina Islam dan juga tokoh-tokoh Islam secara terbuka. Kini ia diamankan polisi.
Baca Juga: Yakini Kebenaran Islam, Dua Pemuda Resmi Mualaf dengan Bersyahadat di Masjid Al-Akbar Surabaya
Sikap Apollinaris ini tentu bukan hanya intoleran dan radikal, lebih dari itu ia intervensi pada agama lain. Celakanya, sikap intervensi itu tidak didasari ilmu pengetahuan memadai. Tapi lebih karena sentimen antaragama atau pemeluk agama.
Contoh, ketika Apollinaris mengatakan bahwa perintah kurban hewan tak ada dalam al-Quran. Apollinaris menuduh Nabi Muhammad meniru tradisi Yahudi. Suatu pernyataan yang sangat fatal.
Pernyataan Apollinaris ini tentu menjadi tertawaan banyak orang. Sebab perintah kurban dalam Al-Quran bertebaran. Banyak sekali. Lihat saja Surat Al-Kautsar ayat 2. Lalu Surat As-Saffat ayat 102. Juga Surat Al-Hajj ayat 37.
Baca Juga: Polda Jatim Kolaborasi dengan Ponpes Wali Barokah Bentengi Santri dari Pengaruh Radikalisme
Bahkan dalam al-Quran perintah kurban dijelaskan sangat lengkap sejak jaman Nabi Adam. Dalam Surat Al-Maidah ayat 27 itu al-Quran menceritakan tentang kurban Habil dan Qobil, putra Nabi Adam.
Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa kecenderungan saling hina antarpemeluk agama makin marak. Lebih-lebih sejak muncul “ladang pekerjaan baru” yaitu buzzer. Agama seolah tidak lagi menjadi perekat sosial yang harmonis. Tapi, justru jadi ajang perseteruan sosial, saling caci antaranak bangsa. Terutama di media sosial.
Aneh. Padahal, salah satu ajaran inti agama, terutama Islam, adalah akhlak, etika, atau budi pekerti. “Innama buitstu liutammima makarimal akhlaq (Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak),” kata Rasulullah SAW.
Baca Juga: Densus 88 Gelar Sosialisasi Kebangsaan di Lamongan
Lalu apa fungsi dan manfaat agama, terutama dalam kehidupan sosial. Untuk apa kita beragama, jika dengan memeluk agama malah saling merendahkan. Apakah agama yang kita anut mengajarkan atau memerintahkan kita untuk merendahkan pemeluk agama lain?
Jika Anda menjawab "ya", berarti ajaran agama yang Anda anut jelas menyalahi kodrat kemanusiaan. Padahal ajaran agama yang benar – sekali lagi agama yang benar - niscaya menjunjung tinggi kemanusiaan. Bukankah agama itu diturunkan untuk meninggikan derajat manusia sehingga ada bedanya dengan binatang?
Bagaimana pandangan Islam? Secara tegas Islam melarang menghina agama atau pemeluk agama lain. Apapun alasannya. Larangan itu ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-An'am ayat 108. Yang artinya:
Baca Juga: Pro-Kontra Tesis Kiai Imaduddin Soal Nasab Ba'Alawi
"Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-An'am: 108).
Lalu kenapa masih ada
orang yang menghina agama lain. Ada empat kemungkinan:
Pertama, karena mereka tak paham tentang ajaran agama yang mereka anut. Dan ini
dialami banyak pemeluk agama. Bukan hanya Islam. Akibatnya, mereka memandang
agama lain sebagai musuh yang harus dicaci dan dimusuhi.
Padahal Nabi Muhammad mengajarkan kita hidup saling menghormati. Bahkan hidup harmonis dalam perbedaan. Ini tercermin dari keteladanan Rasulullah SAW di Madinah. Rasulullah SAW hidup harmonis bersama para penganut agama Yahudi dan Nasrani.
Baca Juga: Catatan Nasab Domain Private, Bukan Konsumsi Publik
Sikap dasar ajaran Rasulullah SAW itu oleh para ulama NU kemudian diformulasikan dalam kerangka kehidupan sosial yang moderat. Poin-poin moderasi itu: tatsamuh (toleransi, tenggangrasa atau akhlak terpuji dalam pergaulan), tawasuth (sikap tengah, tidak radikal dan tidak liberal), tawazun (keseimbangan antara posisi dalil rasionalitas (akal) dan agama (naqli), antara akal dan jiwa, terutama dalam keserasian hidup manusia) dan juga I’tidal (tegak lurus alias adil).
Karena itu Gus Dur menegaskan bahwa semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggi toleransinya.
Kedua, mungkin mereka paham tentang ajaran agama yang dianut , tapi - sengaja atau tidak - melanggar ajaran agamanya sendiri. Fenomena ini juga dialami pemeluk semua agama. Tidak hanya Islam. Bahkan kecenderungan melanggar ajaran agama yang dipeluk ini bukan hanya terjadi dalam tataran etika antarpemeluk agama, tapi juga terjadi pada pemeluk agama yang sama. Misalnya sesama pemeluk agama Islam, pemeluk agama Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya. Munculnya sekte, kelompok atau firqah dalam satu rumpun agama adalah fakta tak terbantah.
Baca Juga: Lagi, Pendeta Intoleran Hina Islam, Kali ini Pendeta Gilbert Olok-olok Zakat 2,5 Persen
Ketiga, faktor emosional keagamaan tanpa diimbangi rasionalitas dalam beragama. Fenomena ini juga menimpa semua agama. Akibatnya, terjadi fanatisme buta tanpa menghiraukan akhlak dan akal sehat. Sikap intoleran sering muncul karena faktor ini.
Karena itu dalam Islam ada ungkapan Laa dina liman laa aqla lahu (Tidak sempurna agama seseorang jika tanpa disertai akal sehat).
Keempat, karena kepentingan politik. Dalam kontek ini banyak sekali politisi berjubah agama. Bahkan menjadikan agama sebagai komoditas politik.
Baca Juga: Bagaimana Hukum Mintakan Ampun Dosa dan Nyekar Makam Orang Tua Non-Muslim?
Lalu apa manfaat menghina agama orang lain? Jelas tak ada. Sebaliknya, justeru merendahkan agama yang mereka (penghina) anut. Sebab, secara akal sehat kita tahu bahwa semua bentuk penghinaan adalah cermin dari budi pekerti yang rendah dan muncul dari ajaran atau pemahaman agama yang salah.
Konsekuensinya, publik yang semula bersimpati, langsung ambyar. Karena penghinaan - dipandang dari segi apapun - tak sesuai dengan akal sehat dan tatanan sosial yang normal. Karena itu saya yakin, para pemuka agama tempat Apollinaris Darmawan bernaung, pasti malu melihat sikap intoleran dan intervensi yang sangat menggelikan itu. Seperti halnya saya juga malu ketika ada orang Islam bersikap intoleran, baik terhadap sesama orang Islam maupun pada penganut agama lain.
Meski demikian, bisa saja Apollinaris memiliki pengikut - walau cuma lingkaran kecil. Tapi budi pekerti para pengikut itu pasti sama rendahnya. Bukankah hanya orang tak waras yang bersimpati pada para penghina agama lain.
Baca Juga: Dialog Tuhan Satu dan Tuhan Banyak, Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA
Nah, berangkat dari uraian di atas, kita perlu introspeksi secara obyektif. Sudah benarkah kita dalam memahami agama. Sudah benarkah kita dalam beragama. Jangan-jangan kita merasa menjalankan ajaran agama, tapi kita justru melanggar ajaran agama. Wallahua'lam bisshawab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News