Tafsir Al-Kahfi 56-57: Omnibus Law, Me-neraka-kan atau Men-surga-kan?

Tafsir Al-Kahfi 56-57: Omnibus Law, Me-neraka-kan atau Men-surga-kan? Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

56. Wamaa nursilu almursaliina illaa mubasysyiriina wamundziriina wayujaadilu alladziina kafaruu bialbaathili liyudhidhuu bihi alhaqqa waittakhadzuu aayaatii wamaa undziruu huzuwaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan; tetapi orang yang kafir membantah dengan (cara) yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak (kebenaran), dan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan apa yang diperingatkan terhadap mereka sebagai olok-olokan.

57. Waman azhlamu mimman dzukkira bi-aayaati rabbihi fa-a’radha ‘anhaa wanasiya maa qaddamat yadaahu innaa ja’alnaa ‘alaa quluubihim akinnatan an yafqahuuhu wafii aatsaanihim waqran wa-in tad’uhum ilaa alhudaa falan yahtaduu idzan abadaan

Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sungguh, Kami telah menjadikan hati mereka tertutup, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka. Kendatipun engkau (Muhammad) menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

TAFSIR AKTUAL

Ayat sebelumnya mengisahkan betapa manusia itu merasa benar sendiri dan pandai beralasan. Meskipun sadar atas kekurangannya, atas kesalahannya, tapi karena gengsinya tinggi, dia lebih memilih berlagak dan sok-sok-an ketimbang mengakui kekurangannya. Tapi alasan itu tidak berguna apa-apa ketika di hadapan Tuhan nanti.

BACA JUGA: Tafsir Al-Kahfi 54-55: Manusia Banyak Alasan

Lalu ayat ini memaparkan peran para rasul yang diutus oleh Tuhan memberi pencerahan kepada umat. Memberi kabar baik bagi mereka yang patuh dengan imbalan surga dan kabar buruk bagi pendurhaka dengan penjara neraka. Lalu, apakah mereka percaya begitu saja?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Sabab nuzul ayat ini menuturkan bahwa para al-muqtasimin, kelompok elite Makkah, baik dari kalangan pendeta Yahudi maupun Nasrani yang biasa mendebat nabi Muhammad SAW, mencari-cari kesalahan al-qur’an dan memilah-milah. Ajaran yang sesuai dengan kemauannya didiamkan, sedangkan yang tidak, yang mengancam kedudukannya sebagai pemuka agama direndahkan.

Karena disiplin yang mereka miliki berbeda, maka mereka menuduh Rasulullah SAW sesuai kecenderungan masing-masing. Ada yang memvonis nabi sebagai penyihir. Hal itu karena ucapan beliau selalu benar-benar memukau dan membius pendengarnya, bak mantra-mantra.

Ada yang menuduhnya sebagai orang gila, karena apa yang disampaikan dianggap ngelantur. Ada yang menuduh beliau sebagai penyair, karena kata-katanya terangkai indah dan mempesona. Ada yang menganggap dukun, karena selalu mengetahui apa yang dirahasiakan oleh pendusta, di samping mesti terbukti apa yang beliau ramalkan dan lain-lain.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Sesungguhnya para al-muqtasimini itu mengerti bahwa Rasulullah SAW bukanlah seperti yang mereka tuduhkan. Namun itu serius dilakukan karena demi menjaga kehormatannya di depan publik, takut tergeser oleh kebesaran Nabi. Makanya, mereka hanya bisa berlagak dan menertawakan. Tidak satu pun yang berani berhadapan dan adu argumentasi, melainkan pasti kembali dengan rasa dipermalukan. “wa ittadzu ayati wa rusuli huzuwa”. Sebenarnya ada apa pada diri mereka?

BACA JUGA: Tafsir Al-Kahfi 51-53: Memberitahukan Amal Sendiri

Inna ja’alna ‘ala qulubihim akinnah an yafqahuh wa fi adzanihim waqra ...”. Ayat ini menyindir manusia yang angkuh dan tidak mau mendengarkan yang terbaik dari orang lain. Sikap macam itu namanya sikap “kufr, kafir”, tertutup. Siapa pun punya sifat demikian, maka dia “kafir sikap” meski dia seorang muslim.

Dalam ayat tersebut ada dua istilah terkait penyumbatan, sehingga seseorang menjadi budeg dan tidak bisa mendengar aspirasi orang lain. Terhadap hati nurani tersumbat, Tuhan menggunakan kata “akinnah” (... inna ja’alna ‘ala qulubuhim akinnah an yafqahuh). Dan ketika membahasakan telinga tersumbat dipakai kata waqr” (wa fi adzanihim waqra).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Akinnah, Aknan bentuk jamak dan kinn, makna tutup. Sedangkan waqr juga berarti tutup. Segala yang menghalangi, menutupi sesuatu bisa disebut kinn atau waqr. Dalam bahasa arab ideom terkait makna ini banyak, seperti: khamr, khatm, ghitha’, satir, hajib, hajiz dan lain-lain.

Kinn itu lebih pada perasaan angkuh yang sangat lembut dan bersemayam di dalam lubuk hati paling dalam. Apa yang dibatin menjadi prinsip sikapnya, dipegangi, dan dirahasiakan. Bila perlu dibalut dengan sejuta kemunafikan demi mengelabuhi lawan. Hanya Tuhan yang mengerti ketertutupan yang sangat rahasia itu. “wa Rabbuk ya’lam ma tukinn shuduruhum...” (al-qasas:69).

Pada makna ini terbaca adanya ketidakjujuran dari pelaku “kinn”. Dari bentuknya yang jamak, “akinnah” terbaca pula bahwa faktor penyumbatan hati tersebut banyak sekali sektornya. Bisa seperti tekanan kekuasaan, loyalitas politik, uang, kepentingan, dll. Bisa jadi seseorang sadar akan “kinn”nya sendiri, tapi tidak berani keluar karena risiko yang mesti dihadapi.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Sedangkan “waqr” lebih pada beban, sumbatan yang memberat di telinga seperti kotoran telinga yang mengeras. Waqr, waqar juga bermakna merunduk, mengarahkan wajah ke bawah hingga tidak perhatian kepada apa yang ada di depannya. Juga berarti konsentris hingga perhatiannya hanya tertuju pada satu arah saja. Lain tidak. Jadi antara akinnah dan waqr sangat terkait dalam menghalangi petunjuk Tuhan.

Undang-Undang Cipta Kerja dirancang bagus dan pasti menguntungkan. Masalahnya, siapa yang paling diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Bagi para buruh, Omnibus Law sangat menguntungkan majikan dan menyengsarakan buruh. Jika demikian, maka pembuat Omnibus Law berdosa sosial yang sulit diampuni, hingga sulit pula masuk surga. Hati-hati, membuat undang-undang sama dengan menentukan nasib orang banyak.

BACA JUGA: Tafsir Al-Kahfi 50: Kabinet Dalam Pemerintahan Iblis

Tapi menurut pemerintah tidak, UU Omnibus Law justru bagus bagi rakyat, bagus bagi buruh. Jika demikian, maka mendapat pahala sosial dan mengantar mereka masuk surga, semoga. Pihak yang tidak terima dipersilakan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Cuma wong cilik negeri ini sudah kurang percaya terhadap independensi MK. Ya, karena sudah beberapa kasus dirasakan demikian.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Makanya mereka berdemo dan demo itu halal. Yang haram itu anarkisnya. Yang merusak sarana wajib mengganti. Karena itu milik umat. Jika tidak, maka kelak di akhirat akan dituntut. Dalam keadaan perang melawan wong kafir jahat saja tidak dibolehkan merusak bangunan, menebang pohon, dan sebagainya. Islam mengajari kita berbuat maslahah, bukan merusak.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO