SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Media sosial telah menelanjangi semua orang. Tapi benarkah ke depan tak ada pahlawan? Apa hubungannya dengan celeng? Simak tulisan wartawan terkemuka, Dahlan Iskan, di Disway dan HARIAN BANGSA, Kamis 11 November 2021 pagi ini.
Di bawah ini BANGSAONLINE.com menurunkan secara lengkap. Khusus pembaca di BaBe, klik lihat artikel asli di bagian akhir tulisan ini. Tulisan di BaBe banyak yang terpotong sehingga tak lengkap. Selamat membaca:
Baca Juga: Menjelang Hari Pahlawan, Kemensos Anjangsana ke Keluarga Gubernur Suryo
SUDAH lebih dari dua tahun terakhir ketua senam saya seorang purnawirawan kolonel polisi: Pak Yudi. Sejak itu setiap ada hari besar, senamnya terasa beda.
Kemarin, misalnya. Senam dimulai dengan ”Siaaaap... Grak!” Dilanjutkan dengan mengheningkan cipta. Lengkap. Diiringi instrumentalia yang biasa digunakan di taman makam pahlawan itu.
Pakaian kami pun bebas: asal bernuansa pahlawan. Umumnya peserta memilih celana militer. Ada yang pakai peci veteran, lengkap dengan sabuk pistol –tanpa isinya.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Kemarin memang Hari Pahlawan. 10 November. Kita hormati pahlawan kita.
Ke depan kita kesulitan untuk mencari pahlawan. Zaman medsos telah memberikan gambaran berbeda: tidak ada orang yang sempurna. Orang yang semula kita pahlawankan tiba-tiba terlihat bopeng.
Bisa saja bopeng itu memang begitulah kenyataannya. Ada juga yang bopengnya buatan. Rupanya, banyak orang bopeng yang tidak rela kalau ada orang lain yang terlihat tidak bopeng. ”Celeng satu, celeng semua..!” Begitu bunyi syair lagu Celeng Dhegleng yang tiba-tiba ngetop belakangan ini. ”Leng ji, leng beh,” bunyi asli lagu itu: ”Celeng siji, celeng kabeh....”
Baca Juga: Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu
Lagu Sri Krishna tersebut diluncurkan pertama Desember 2018. Jauh sebelum pandemi. Syairnya ditulis bersama dengan Romo Sindhunata. Inspirasinya datang dari lukisan celeng karya pelukis Joko Pekik yang terkenal itu.
Sri Krishna seniman Yogyakarta. Pencipta lagu. Penyanyi. Ia seniman yang dilahirkan –pendidikannya sendiri ilmu hukum UGM, tapi tidak selesai.
Rambutnya panjang, tampilannya urakan. Ia sering kumpul dengan seniman Yogyakarta lainnya. Termasuk Butet Kartaredjasa dan almarhum Djaduk.
Baca Juga: Tiongkok Banjir Mobil Listrik
Baru di Celeng Dhegleng itulah lagunya ngetop. Tak lain gara-gara kontroversi banteng-celeng. Seorang politikus PDI Perjuangan pusat menilai: yang mendukung Ganjar Prabowo itu bukan banteng, melainkan celeng. Tidak persis begitu, tapi kurang lebih mirip itu.
Mirip ejeken Bonek yang kemudian justru menjadi nama kebesaran, pun julukan celeng.
”Kalau pendukung Ganjar disebut celeng, kami semua adalah celeng.” Kurang lebih begitu kata mereka.
Baca Juga: Hati Rakyat Sulit Dibeli, Partai Penguasa Gagal Menang
Kok kebetulan sudah ada lagu Celeng Dhegleng itu. Maka, jadilah lagu tersebut lagu kebesaran mereka. Yang lain pun ikut mengaksesnya.
Sebenarnya Sri Krishna bermaksud menjadikan lagunya itu sebagai kritik sosial. Lagu ciptaan Krishna yang lain pun bertema sosial. Termasuk yang judulnya Asu. Ia sama sekali tidak untuk dikaitkan dengan banteng.
Pun saya. Melihatnya dari sisi lain.
Baca Juga: Anak Muda Israel Full Stress
”Leng ji, leng beh” adalah fenomena zaman medsos ini. Mungkin memang banyak celeng di negeri ini. Dan celeng itu berbiak demikian cepatnya –seperti melebihi virus. Dan yang tidak mau ketularan dicelengkan sekalian.
Saya pernah ingin jadi pahlawan kecil-kecilan. Saya mau ditugasi memperbaiki grup perusahaan milik pemda yang lagi rusak. Tanpa dibayar. Tanpa dapat fasilitas. Bahkan, keluar uang sendiri.
Suatu saat saya bertanya kepada seorang aktivis. Ia juga seniman. Suka demo. Hidupnya selalu tirakat. Sering ke rumah saya.
Baca Juga: Doni Monardo Bekerja Habis-habisan
Saya mendiskusikan soal korupsi dengan aktivis itu. Yang ia lihat mewabah begitu luasnya. Sampai-sampai masyarakat menilai, katanya, semua orang itu korupsi.
”Berarti, orang seperti saya juga dianggap korupsi?” tanya saya.
”Kalau kita bertanya kepada masyarakat apakah Dahlan Iskan itu korupsi, jawabnya ya korupsi lah,” kata seniman tersebut. ”Hanya mungkin masyarakat menilai korupsinya Dahlan Iskan itu tidak nemen-nemen,” tambahnya.
Baca Juga: Semarak Sarasehan Hari Pahlawan di Kanminvetcad V/07 Tulungagung
Saya agak lemes mendengarkan penilaian seperti itu. Tapi, itulah persepsi yang hidup di masyarakat. Tidak ada orang bersih. Leng ji, leng beh.
Semua orang korupsi. Yang tidak ketangkap penegak hukum itu karena tidak ketahuan saja. Atau kebetulan administrasi korupsinya baik.
Bahkan, yang belum korupsi pun akan dinilai karena belum punya kesempatan. Hanya karena belum punya jabatan. Belum diuji pula dengan posisi yang bergelimang uang.
Pokoknya semua orang harus celeng. Kalau tidak pun akan dicelengkan.
Untung kita sempat punya pahlawan. Mereka lahir sebelum ada medsos. Sebagian besar pahlawan kita pun bisa tampil sempurna. Bukan pahlawan yang bopeng-bopeng.
Apakah itu berarti hilangnya dorongan untuk menjadi pahlawan di masa depan?
Untuk apa berusaha menjadi menjangan kalau teriakan yang ia/dia dengar selalu menyebut dirinya/nyi celeng?
Kita memang akan terus memperingati Hari Pahlawan. Sambil masa bodoh atas hilangnya motivasi untuk menjadi pahlawan.
Lihatlah lirik lagu Celeng ini:
Zaman sekarang zaman yang aneh
muncul tokoh pun yang aneh-aneh
omongannya remeh temeh
memfitnah sana memfitnah sini
ujaran benci setiap hari
membuat resah seluruh negeri
Banyak pejabat main korupsi
politisinya seenak sendiri
yang penting ambisi pribadi
yang penting nafsunya terpenuhi
mereka melawan hukum dengan tertawa
mereka mainkan hukum dengan gembira
merasa paling suci dan yang lain pendosa
embuskan angin surga dan retorika
Asu-asuan
Sengkuni bertopeng ganda
asu-asuan
Sengkuni tebar pesona
asu-asuan
Sengkuni marasa seperti dewa
suu suu asu asu asu suan
Sengkuni sukanya mengadu domba. (Dahlan Iskan)
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Artikel Berjudul Angka 244
Pryadi Satriana
Saya justru prihatin, angka 244 itu hanya "satu potret", potret yg " bagus." Kompetisi masih berlangsung. Ndhak boleh lengah. Bisa bahaya. Salam.
Panggiring At Alasroban
Pada bulan juli kemaren di kampung saya. Yg cukup terpencil kurang lebih sekitar 75% penduduknya pada sakit semua. Ada yang 1 minggu sembuh, 2 minggu sembuh ada yang 3 minggu sembuh. Yang meninggal juga ada. Yang sakit itu tak ada satupun yang berani ke puskesmas / dokter untuk berobat. Karena takut di test covid dan positif. Jadi apapun yang terjadi semua pada berobat paling pol ke bidan desa. Terus ada juga yang minum obat dari sinsei. Mungkin sebenarnya saat itu kalau di test semua, ya covid sedang merajalela. Tapi karena pada nggak mau di test ya nggak ada datanya. Dan kondisi seperti itu nampaknya terjadi di berbagai pelosok tanah air. Bisalah di anggap herd immunity sudah tercapai saat ini. Meski data vaksin belum mendukung.
RipCord
Yes setuju.. Mungkin ditambahkan para tenaga IT yg sudah menjaga koneksi, komunikasi dan aplikasi tetap berjalan normal 24x7. Karena tanpa itu, koordinasi atau informasi tidak dapat diakses dengan cepat. Penanganan bisa terhambat.
Itsna manshuria
di hari Palhawan ini ingin kuanugerahkan rasa hormat setinggi2nya untuk seluruh tenaga kesehatan Indonesia: dokter, perawat, beserta ekosistem kesehatan di Rumah Sakit: cleaning service, radiografer, analis lab, pemulasara jenazah, operator billing, tenaga administrasi, ahli sanitasi, sterilisasi, gas medis (O2), ahli Gizi, apoteker, driver ambulance dst yang seluruhnya itu benar2 bekerja luar biasa selama masa pandemi terutama di puncak serangan Delta bulan Juli-Agustus lalu. orang bilang pandemi ini konspirasi, ini rekayasa, covid sembuh sendiri, tapi nyatanya jumlah orang yg sakit sampai megap2 di bulan2 itu memang sangat2 banyak, sampai rumah sakit nya ga muat. wes, biar Allah yg mencatat amal baik kalian semua, menyelamatkan jutaan nyawa rakyat Indonesia dengan mempertaruhkan segala risikonya. Tidak ada yg mengundurkan diri seperti di negara lain. HORMAT.
Alexs sujoko sp
Saya baca komennya kok gag selesai - selesai, padahal baca artikel Abah tadi gag sampai 10 menit. Ini hampir 1 jam juga belum klar. Waduh jadi pengangguran betul ini, untung ada si genduk yang sudah bisa bantu - bantu. Tapi Mbok Wedok kok celak - celuk wae dari dapur njaluk bantu.
Juve Zhang
Apresiasi untuk menko Polhukam yg ketua BLBI, untuk menyita 114 Trilyun yg belum dilunasi,cukup buat bayar kereta cepat Jakarta Bandung. Yg sudah lunas ada 4 bos gede, sebagian sudah Alm.
Mbah Mars
Saya cctv dari jauh, sekarang ini Abah mengalami situasi yg dilematis. Harus milih komen terpilih sementara komennya semakin merajalela. Semakin beranak-pinak. Komen direplay komen. Replay komen direplay lagi. Begitu seterusnya. Seorang komentator jika dikumpulkan komennya bisa lebih panjang dari artikelnya. Kalo komen terpilih mau ditiadakan kok eman2. Kalo tetap ada tapi kok butuh bnyk waktu utk memilihnya. Di situ dilemanya. Ah...ngomong apa Mbah. Sana nyruput kopi saja. Habisin itu jadah tempenya.
Lbs
Yang juga menurun ini. Perseteruan cebong kampret d kolom komentar Disway. Sebelumnya sangat mendominasi. Paling ramai bersahut2an. Tapi berkat beberapa komentator moderat, perseteruannya sedikit memudar. Perhatian teralihkan. Maka sy bersyukur ada komentator macam Pak Mirza, Mbh Mars, Kliwon, Bung Leong, Anak Alay, dan sebagainya. Semoga spesies macam mereka terus berkembang...
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News