​Muktamar Lun-Alun Jombang Biang Kekacauan NU saat Ini

​Muktamar Lun-Alun Jombang Biang Kekacauan NU saat Ini Dr KH Malik Madani. Foto: ist

Oleh: Dr KH A , Katib Aam Syuriah PB (2010-2015)

Sesungguhnya saya enggan untuk menulis tentang PB dalam periode ini, karena saya adalah bagian dari periode sebelumnya. Saya merasa tidak etis untuk melakukan penilaian, apalagi kritik, karena khawatir pasti banyak org menilai bahwa apa yang saya suarakan adalah ungkapan dari kekecewaan orang yang sakit hati karena terpental dari PB pasca-Muktamar Lun-Alun Jombang 2015.

Akan tetapi, dalam beberapa hari terakhir ini hati nurani saya memaksa saya untuk nimbrung berkomentar. Karena yang sangat saya cintai - lahir dan batin - telah dicabik-cabik dengan sangat kasar dan vulgar oleh hawa nafsu orang-orang yang ingin mencari kehidupan dan kebesaran di , bukan orang-orang yang ingin membesarkan dan membawanya kepada kejayaan.

Akibatnya, saat ini sudah menjadi tontonan yang sungguh tidak lucu, melainkan justeru sangat memalukan. Saling berebut jabatan antar elite serakah menjadi sajian publik di pekan-pekan terakhir ini.

Dalam tulisan ini saya hanya akan bercerita tentang pengalaman saya mengabdi di PB sebagai Katib Aam (2010-2015) terkait dengan dipilihnya Jombang sebagai lokasi Muktamar ke-33 tahun 2015.

Saya teringat waktu itu sekitar tahun 2014 PB menyelenggarakan Rapat Gabungan (Ragab) Syuriyah-Tanfidziyah untuk menentukan lokasi muktamar. Ada 3 (tiga) alternatif yang muncul, yakni Medan (Sumut), Lombok (NTB), dan Jombang (Jatim).

Saya bersama Waketum PB (Pak H. As'ad Said Ali) dan teman-teman yang bebas dari kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok mendukung Sumut. Alasannya, demi pengembangan dan Aswaja di Sumut dan sekitarnya, sehingga Aswaja di sana tidak lagi diidentikkan orang dengan Al-Washliyah dan Perti, dua ormas Aswaja yang cukup dominan di sana.

Alhamdulillah, di sana sudah tersedia sebuah pesantren dengan lahan 14 hektar yang diasuh oleh seorang doktor muda lulusan Universitas Al-Azhar Cairo, putra seorang saudagar Minangkabau. Pak As'ad sudah sempat melakukan observasi ke sana.

Belajar dari pengalaman Muktamar ke-32 di Makasar, berkembang di Sulsel dan Indonesia Timur pasca Muktamar Makassar. Kalau Sumut tidak diterima, alternatif kedua adalah Lombok, yakni Pesantren Qomarul-Huda, Bagu, Pringgarata yang di jaman Gus Dur pernah menjadi lokasi Konbes dan Munas Alim Ulama dan sukses. Padahal pada saat itu pesantren dan perguruan tinggi di situ masih kecil, sedangkan sewaktu diusulkan sebagai lokasi muktamar kemampuannya sudah berlipat kali lebih besar.

Dengan mengadakan muktamar di Lombok, kita akan lebih membesarkan di NTB, sehingga Aswaja tidak lagi identik dengan Nahdlatul Wathon (NW).

Kalau alternatif ketiga, Jombang yang dipilih maka tidak ada manfaat bagi . Muktamar di Jombang tak ubahnya bagaikan menabur garam di samudera. Tidak punya manfaat bagi pengembangan di sana. Bisa-bisa, kita malah kualat kalau kita melakukan hal-hal yang tidak baik dalam muktamar yang berarti hal itu dipertontonkan di kota di mana para muassis, yakni Hadlratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab Hasbullah dan Mbah Bisri Syansuri, dimakamkan. Dengan penuh percaya diri saya sampaikan argument-argumen di atas dan alhamdulillah banyak peserta rapat yg mendukungmya, termasuk Pj Rais Aam Syuriah PB.

Sayang, beliau tersinggung dengan ucapan salah seorg peserta rapat (mungkin maksud yang bersangkutan sekedar joke), sehingga beliau berucap: "Saya bisa menerima dan memahami argumen Katib Aam, tapi saya sangat tersinggung dengan ucapan si Fulan..dst, sehingga saya beralih mendukung Jombang".

Singkat cerita, berlangsunglah muktamar alun-alun yang penuh rekayasa dan keculasan dengan AHWA abal-abalnya. Terbentuklah dari Muktamar Alun-alun itu PB yang didominasi oleh figur-figur vested interest, sehingga tidak mengherankan bila pada hari ini mereka cakar-cakaran berebut kekuasaan di tampuk pimpinan PB.

Alhamdulillah, saya diselamatkan Allah, tidak ikut masuk dalam menikmati produk muktamar yang bermasalah itu. Bahkan saya tidak ridlo dengan produk itu. Mereka yang ridlo, pada hari-hari ini benar-benar merasakan konsekuensi keridloannya: sebuah PB yang porak-poranda dengan elite-elitnya yang "telanjang bulat" di pentas sejarah umat dan bangsa, nyaris tanpa rasa malu.

Mungkinkah ini yang disebut kualat yang sudah sejak lama saya khawatirkan jika Muktamar ke-33 dilangsungkan di Jombang? Wallaahu A'lam. Yang jelas, kaidah hukum Islam kita mengajarkan: ar-ridlaa bissyay-i ridlaa bimaa yatawalladu minhu (meridhoi Muktamar Lun-Alun berarti meridloi produknya yang berupa PB yang amburadul sungguh memalukan).

Semoga Allah SWT menyelamatkan dan Nahdliyyin dari bencana perpecahan para elitenya! Aamiin!

...

Lihat juga video 'Mobil Dihadang Petugas, Caketum PBNU Kiai As'ad Ali dan Kiai Asep Jalan Kaki ke Pembukaan Muktamar':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO