Kiai Yusuf Hasyim memang punya kebiasaan merekam pidato penting dan pembicaraan penting, termasuk pidatonya sendiri. Pidato itu diperdengarkan kepada para santri, terutama santri-santri senior.
Kiai Yusuf Hasyim juga sering mengajak para santri senior – terutama yang gemar menulis di media massa, termasuk saya – untuk berdiskusi. Tema utamanya selalu politik dan umat Islam.
KH Muchith Muzadi juga pernah tabayun ke Kiai As’ad soal mufaraqah itu. Kiai Muchith, yang merupakan kakak kandung KHA Hasyim Muzadi, adalah salah satu pelaku sejarah Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Sama dengan Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Muchith akrab dengan KH Ahmad Shidiq dan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Kiai Muchith inilah yang mengetik naskah khittah 26 yang dikonsep KH Ahmad Shidiq.
Pengakuan Kiai Muchith itu saya dengar sendiri saat bertemu di kantor PWNU Jawa Timur Jalan Darmo 96 Surabaya. Saat itu saya tiap hari ke kantor PWNU karena tercatat sebagai pengurus lembaga, terutama saat KHA Hasyim Muzadi dan KH Ali Maschan jadi Ketua PWNU Jatim. Saya Bendahara LTNU PWNU, lalu Wakil Ketua Balitbang PWNU Jatim.
Jika Kiai Muchith Muzadi ke kantor PWNU, teman-teman pengurus NU yang masih muda biasanya ngobrol santai. Saat itulah Kiai Muchith cerita tentang NU, termasuk soal mufaraqah Kiai As'ad.
“Begitu saya mendengar Kiai As’ad mufaraqah ke Gus Dur, saya ke Situbondo. Saya langsung masuk ke kamar Kiai As’ad. Gak ada orang yang berani masuk ke kamar pribadi Kiai As’ad. Tapi saya masuk,” kata Kiai Muchith Muzadi kepada saya dan beberapa teman aktivis NU di kantor PWNU Jawa Timur saat itu.
“Saya matur. Kiai, kalau Gus Dur dianggap keliru, seharusnya dipanggil dan dinasihati. Jangan bicara di koran,” kata Kiai Muchith Muzadi kepada Kiai As’ad.
Ternyata respons Kiai As’ad mengejutkan. “Mana saya berani. Saya kalau lihat wajah Gus Dur, yang muncul wajah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari,” kata Kiai As’ad seperti ditirukan Kiai Muchitz.
Kiai As’ad, kata Kiai Muchith, juga mengatakan manuver mufaraqah itu politik tingkat tinggi. Yaitu untuk menyelamatkan Gus Dur. “Karena Gus Dur mau dibunuh oleh penguasa Orde Baru,” kata Kiai As’ad kepada Kiai Muchith.
Jadi, Kiai As’ad pura-pura marah kepada Gus Dur itu justru untuk menyelamatkan cucu Hadratussyaikh itu. Dengan berlagak marah, Soeharto akan beranggapan bahwa sikap para kiai NU ternyata tak sama dengan sikap kritis Gus Dur. Dengan demikian, Soeharto merasa aman.
KH Khotib Umar, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Sumber Wringin Jember Jawa Timur, juga mengaku tabayun kepada Kiai As’ad. Kiai Khotib Umar menyampaikan itu kepada saya dan rombongan saat sowan ke kediamannya di Jember.
Menurut dia, Kiai As’ad saat itu sedang bermain politik tingkat tinggi. “Ketika saya tanya kenapa mufaraqah, Kiai As’ad menjawab, itu untuk menyelamatkan Gus Dur, karena Gus Dur mau dibunuh oleh penguasa Orde Baru,” kata Kiai Khotib Umar menirukan jawaban Kiai As’ad. Karena itu, jangan heran jika Kiai As’ad tidak pernah mengajak orang lain untuk mufaraqah kepada Gus Dur.
Sebagai wartawan, saya juga pernah berusaha mewawancarai Kiai As’ad. Saya datang ke Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo. Saya menunggu kiai kharismatik itu sekitar enam jam. Ternyata yang menemui saya Syahrowi Musa, yang mengaku sebagai juru bicara Kiai As’ad. “Tulis saja apa yang saya katakan. Nanti dalam berita itu tulis bahwa yang bicara itu Kiai As’ad,” katanya.
Menurut dia, kepada media lain juga begitu. Maksudnya, dia yang bicara kepada wartawan, tapi dalam berita ditulis Kiai As’ad sebagai narasumber. “Saya yang bicara tapi ditulis atas nama Kiai As’ad,” kata Syahrowi Musa. Wallahu’alam bisshawab.
*Penulis, Alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair yang kini Owner HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News