Oleh: M Mas’ud Adnan --- Menjelang pengangkatan Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri saya ditelepon seorang tokoh agama di Jawa Timur. Ia marah karena dia diberitakan mendukung Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri.
“Saya dimarahi para kiai,” kata sang tokoh agama itu kepada saya dengan nada tinggi.
Baca Juga: Polsek Prajurit Kulon Ikuti Peluncuran Gugus Tugas Polri Mendukung Program Ketahanan Pangan
Berita itu dimuat di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com. Ia terus menyalahkan saya.
Tentu saja saya tak terima. Sebab, berita rilis dari institusi kepolisian itu dimuat hampir semua media. Termasuk media Jakarta. Bukan hanya HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com.
“Maaf Kiai, bukan hanya HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com yang muat berita itu. Tapi semua media. Termasuk media-media Jakarta,” kata saya menjelaskan sembari menyebut beberapa media online Jakarta yang juga memuat berita itu.
Baca Juga: Silaturahmi Pj Gubernur Jatim, Kapolri dan Panglima TNI Singgung Insiden Berdarah di Sampang
Tapi sang tokoh agama tetap tak terima. Alasannya, para kiai di Jawa Timur tak membaca atau jarang membaca media terbitan Jakarta. Tahunya HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com. Apalagi link BANGSAONLINE.com sering beredar di grup WhatsApp (WA) para kiai dan tokoh agama.
Saya akhirnya paham. Maka saya menawarkan solusi agar sang kiai tak dimarahi para kiai.
“Baik Kiai. Sekarang apa yang bisa kami bantu. Apa perlu saya tulis berita bantahan atau klarifikasi, bahwa kiai tak mendukung Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri,” tanya saya kemudian.
Baca Juga: Kapolri dan Panglima TNI Luncurkan Gugus Tugas Polri Mendukung Program Ketahanan Pangan di Sidoarjo
Ia menolak. "Bukan seperti itu," katanya.
Ia kemudian memberi keterangan pers yang intinya menjelaskan posisinya sebagai warga negara terhadap kepentingan bangsa. Intinya, dia tak keberatan Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri meski beragama Kristen. Tapi jangan ditulis mendukung.
Potongan cerita di atas sengaja saya ungkap untuk menggambarkan betapa pengangkatan Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri penuh kontroversi, termasuk di kalangan kiai. Dan para elit politik di Jakarta – terutama Istana – sangat paham, termasuk para petinggi Polri.
Baca Juga: Doa Bersama Kapolri dan Panglima TNI, Kiai Asep Duduk Satu Meja dengan Kapolda dan Pangdam V Jatim
(Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Foto: CNN)
Karena itu, mereka melakukan pendekatan terhadap para tokoh agama Islam agar pengangkatan Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri kondusif. Termasuk pendekatan kepada para tokoh agama di Jawa Timur.
Jenderal Listyo Sigit juga tak tinggal diam. Saat uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Rabu (20/1/2021), Jenderal Listyo menjanjikan program keagamaan untuk mencegah perkembangan radikalisme dan terorisme.
Baca Juga: Kapolri Sebut Hari Juang Polri Jadi Semangat Generasi Muda Hadapi Berbagai Macam Tantangan Zaman
Apa programnya? Mewajibkan semua polisi mempelajari kitab kuning.
"Seperti dulu di Banten saya pernah sampaikan, anggota wajib untuk belajar kitab kuning," kata Jenderal Listyo yang mantan Kapolda Banten.
Nah, dari cerita di atas ada dua hal yang perlu kita cermati. Pertama, kita punya gambaran konkret tentang toleransi para kiai atau ulama dalam posisi Kapolri.
Baca Juga: Kementerian ATR BPN Jalin Kerja Sama dengan Polri untuk Atasi Konflik Pertanahan
Memang semula terjadi kontroversi, tapi akhirnya dengan lapang dada mereka menerima Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri, meski beragama Kristen.
Sulit dibayangkan seandainya para kiai ngotot menolak Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri. Padahal, apa susahnya para kiai itu menolak Listyo Sigit. Cukup membuat surat pernyataan ramai-ramai ke publik menolak calon Kapolri beragama Kristen, pasti terjadi kegaduhan. DPR pun tak akan ambil risiko jika para kiai kompak menolak. Tapi para kiai sangat arif. Mereka tak mau menciptakan kegaduhan. Apalagi penistaan agama.
Kedua, Jenderal Listyo Sigit sendiri mengakui bahwa kitab kuning (materi utama kurikulum pesantren) sangat efektif mencegah perkembangan radikalisme dan terorisme. Bahkan Jenderal Listyo Sigit mengaku telah membuktikan saat menjabat Kapolda Banten.
Baca Juga: Dituntut 2,6 Tahun, Begini Pledoi Samsudin Blitar Dalam Sidang Pembelaan
Karena itu sangat aneh ketika Pendeta Saifuddin Ibrahim menyampaikan pernyataan provokatif bahwa kurikulum pesantren mengajarkan radikalisme dan mencetak teroris. Pernyataan pendeta Saifuddin Ibrahim itu bukan saja tak sesuai fakta, tapi juga mencoreng dan menampar wajah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Bukankah Pendeta Saifuddin Ibrahim sama dengan mementahkan pernyataan Kapolri?
(Pendeta Saifuddin Ibrahim dan istrinya, Sara Ayu Ibrahim. Foto: facebook)
Ironisnya, pernyataan-pernyataan permusuhan dan penistaan agama itu justru merangsang munculnya Jozeph Paul Zhang, yang juga menista agama Islam, tapi hingga sekarang tak ditangkap. Jozeph Paul Zhang muncul dalam video provokatif yang mendukung penuh Pendeta Saifuddin Ibarahim.
Baca Juga: Terminal Purabaya Ditinjau Kapolri, Panglima TNI dan Menhub, Pj Gubernur Jatim: Semuanya Siap
Menurut Jozeph Paul Zhang, ayat-ayat Al Quran yang mengandung radikalisme, rasisme, dan penghinaan terhadap golongan lain, jumlahnya lebih banyak dari yang disebut Saifuddin.
“Itu kan cuma 300 ayat. Bukan cuma 300 sebetulnya. Ayat-ayat yang radikal, rasis, dan tidak menghormati golongan lain,” imbuh dia.
Jozeph Paul Zhang menyebut Al Quran di China yang juga berbeda dengan di negara lain. “Kalau di China, Al Quran-nya itu hanya 30 persen saja. Karena 60 persen, itu ayat-ayat radikal,” kata Jozeph Paul Zhang.
Munculnya Jozeph Paul Zhang ke permukaan publik ini jelas merendahkan institusi kepolisian, terutama Kapolri. Sebab sejak heboh menista agama Islam dan mengaku sebagai nabi ke-26, ia telah dilaporkan kepada polisi. Tapi hingga kini polisi belum bisa menangkap dengan berbagai alasan.
"Paul Zhang... Ya sampai sekarang red notice-nya masih belum keluar," ujar Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Johni Asadoma di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (28/9/2021).
Kapolri Jenderal Listyo Sigit saat itu juga berjanji akan memprosesnya.
"Sedang kami selidiki," kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat dikonfirmasi detikcom, Sabtu (17/4/2021).
Jozeph Paul Zhang dilaporkan ke Bareskrim atas Laporan Polisi Nomor LP/B/0253/IV/2021/Bareskrim tanggal 17 April 2021.
(Jozeph Paul Zhang. Foto: youtube)
Jenderal Listyo Sigit mengatakan, menurut informasi Kantor Imigrasi Kelas I Soekarno Hatta berdasarkan Travel document no B6622531, Jozeph Paul Zhang tidak lagi berada di Indonesia. Dia tercatat meninggalkan Indonesia menuju Hong Kong sejak tanggal 11 Januari 2018.
Demikianlah, munculnya Jozeph Paul Zhang yang kemudian dengan mudah melakukan provokasi itu jelas mencoreng wajah Kapolri. Sebab ia seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dirinya aman-aman saja meski sudah menista agama dan dilaporkan kepada polisi.
Karena itu, jangan heran jika kini muncul kecurigaan, jangan-jangan Pendeta Saifuddin Ibrahim dan Jozeph Paul Zang itu dilindungi oleh aparat kepolisian. Apalagi mereka berdua juga dengan mudah berada di luar negeri.
Tapi saya husnuddzan (berpikir positif) terhadap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan jajaran kepolisian di instansi Polri. Saya yakin Kapolri sadar dan tegar bahwa posisinya sebagai penganut agama Kristen tak akan menghambat untuk bertindak adil kepada siapa pun. Bukankah semua agama merintahkan bertindak adil kepada siapa pun?
Dalam Islam, banyak sekali ajaran perintah keadilan itu, termasuk bersikap adil terhadap pemeluk agama lain, bahkan Yahudi. Sayangnya ajaran prinsip keadilan Islam universal itu belum terinternalisasi secara maksimal ke dalam kerangka berpikir, apalagi dalam perilaku keseharian umat Islam sendiri.
Dan itu tampaknya terjadi pada semua agama. Antara idealitas ajaran dan realitas perilaku keseharian masih ada jurang pemisah.
Bahkan di Kristen ternyata justru parah. Kasus Pendeta Saifuddin Ibrahim dan Jozeph Paul Zang adalah bukti yang tak bisa dibantah.
Kita harus menyadari bahwa keberadaan bangsa dan negara ini sangat ditentukan oleh kedamaian dan kondusivitas antar umat beragama. Kenapa? Karena realitas agama yang beragam adalah keniscayaan.
Maka perlu toleransi dan tenggang rasa yang tinggi antarumat beragama. Hal yang paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah jangan intervensi pada keimanan dan keyakinan pemeluk agama lain. Apalagi melakukan provokasi kepada publik.
Wallahu’alam bisshawab.
Penulis alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair). Kini CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News