SURABAYA, BANGSAOLINE.com - Dinamika politik di Surabaya terus berubah menjelang pendaftaran pasangan calon (paslon) pemilihan kepala daerah (Pilkada). Setelah sebelumnya pilkada Surabaya terancam deadlock karena tidak ada lawan tanding bagi pasangan Risma-Whisnu yang diusung PDI Perjuangan, kemudian muncul angin segar dengan munculnya pasangan Syamsul Arifin-Warsito sebagai lawan tanding tanding.
Namun ternyata sampai Selasa (28/7) pukul 16.00 WIB tadi yang merupakan batas akhir pendaftaran, pasangan yang diusung koalisi PKB, Hanura, NasDem dan PPP tak kunjung mendaftar ke kantor KPU Surabaya. Ditengarai gagalnya pasangan itu lantaran Partai NasDem Kota Surabaya yang memiliki 2 kursi menarik dukungan untuk mengusung pasangan Syamsul Arifin (PKB) dan Warsito (Hanura). Akibatnya, koalisi Partai PKB (5 kursi), Hanura (2 kursi), NasDem (2 kursi) dan PPP (1 kursi) yang hendak dijadikan kendaraan politik gagal memenuhi syarat bisa mengusung pasangan calon. Sebab, hanya memiliki 8 kursi.
Baca Juga: Untuk Cawali Surabaya, Risma Dikabarkan Punya Dua Jago: Ery Cahyadi dan Hendro Gunawan
Ketua DPW Partai NasDem Jawa Timur, Effendi Choirie membenarkan jika Partai NasDem Kota Surabaya tidak mendukung pasangan calon manapun alias mengibarkan bendera putih (menyerah). Alasannya, NasDem masih memiliki integritas (moral) politik sehingga enggan mengusung calon boneka.
"Daripada ikut mendukung calon boneka, lebih baik NasDem kibarkan bendera putih atau tidak mendukung siapapun," tegas Gus Choi, panggilan akrab Effendi Choirie, Selasa (28/7).
Terpisah, pengamat politik dari Universitas Airlangga, Hariyadi menilai maraknya calon boneka pada Pilkada Serentak tahun 2015 karena proses kaderisasi kepemimpinan di Civil Society dan Parpol tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, pasangan incumbent menjadi sangat perkasa alias tanpa tanding, dan siapa pun yang maju melawan pasangan incumbent pasti kalah.
Baca Juga: PDIP Minta Mahar Hingga Rp 10 M, Cawawali Surabaya Punya Uang Berapa?
"Jadi pesaing incumbent itu maju untuk kalah, sehingga tak perlu bersusah payah. Oleh masyarakat dinamakan calon boneka itu juga ada benarnya," jelas dosen FISIP Unair Surabaya ini.
Munculnya fenomena calon boneka, kata Hariyadi, juga bagian dari politik traksaksional yang dilakukan oleh pasangan calon maupun parpol. "Banyak parpol yang hanya berpikiran sesaat (pragmatis). Daripada mengusung kader, lalu kalah, lebih baik mendukung incumbent karena mendapat imbalan sejumlah uang supaya bisa digunakan untuk mengembangkan parpol," bebernya.
Yang lebih menarik, Hariyadi juga menuding KPU melalui PKPU No.12 tahun 2015 ikut memicu tumbuh suburnya calon boneka dan politik transaksional dalam Pilkada serentak. Pertama, pasal tentang dibolehkannya parpol bertikai mengusung calon asal mendapat persetujuan dari kedua kubu yang bertikai.
Baca Juga: PKB Intruksikan Kader Sosialisasikan Fandi Utomo sebagai Cawali Surabaya
"Ini jelas memicu politik traksaksional, karena pasangan calon yang hanya mendapat persetujuan satu kubu parpol bertikai harus berusaha keras mendapat persetujuan dari kubu lainnya, dan ujung-ujungnya tentu tawaran duit," kelakar pria berkaca mata ini.
Kedua, pasal tentang pengunduran jadwal pilkada serentak tahun 2017 jika hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar di KPU setempat. "Ini juga memicu untuk memunculkan calon boneka sebagai lawan, dan tentunya juga ada politik transaksional," tambah Hariyadi.
Sebaliknya, munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan anggota DPR, DPD dan DPRD yang maju Pilkada untuk mundur dari jabatan setelah resmi ditetapkan sebagai pasangan calon, dinilai Hariyadi bukan menjadi pemicu munculnya calon boneka di Pilkada serentak.
Baca Juga: Di Depan 700 Kiai MWCNU-Ranting NU se-Surabaya, Kiai Asep: Wali Kota Surabaya Harus Kader NU
"Justru putusan MK itu menghapus adanya spekulasi dan memberikan kepastian pada pasangan calon yang maju Pilkada supaya bersungguh - sungguh supaya tak menjadi calon boneka," pungkas Hariyadi. (mdr/dur)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News