SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Keputusan Gubernur Jatim menolak peraturan daerah (perda) larangan peredaran minuman beralokohol (mihol) mendapat respon negatif dari berbagai kalangan, terutama dari PCNU Surabaya. Kesimpulan merevisi perda mihol dianggap tidak tepat.
Ketua PCNU Surabaya Acmad Muhibbin Zuhri memandang, Gubernur Jatim Soekarwo tidak bisa menampung aspirasi warga Surabaya. Mayoritas warga menginginkan agar kota pahlawan bebas dari peredaran minuman memabukkan.
Baca Juga: Ketua DPRD Tuban Minta Petugas Tak Tebang Pilih Saat Razia Toko dan Karaoke Penjual Mihol Ilegal
"Aspirasi umat kok tidak jadi acuan oleh pemrintah, kerja keras dewan diabaikan," ujarnya, Minggu (7/8).
Direktur Museum NU ini mendorong Pemkot Surabaya melakukan banding. Pasalnya, dasar penolakan Guebrnur Jatim lemah. Peraturan presiden (perpres) nomor 74 tahun 2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol yang jadi acuan penolakan sudah tidak berlaku.
Cak Muhibbin, biasa disapa, menjelaskan Perpres 74/2013 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan begitu, perpres tidak bisa menjadi acuan lagi. Sehingga, dasar penolakan gubernur lemah. "Pemkot harus banding, karena kewenangan ada di pemkot, dan umat Islam akan mengawal," ungkapnya.
Baca Juga: Raperda Mihol Ditolak Gubernur, Golkar Balik Arah
Kabag Hukum Pemkot Surabaya Ira Turselowati mengatakan Gubernur Jatim meminta agar Raperda Larangan Peredaran Mihol direvisi. Dalam surat bernomor 188/12165/013/2016 menyatakan perda larangan peredaran mihol bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Perda ini bertentangan dengan undang-undang nomor 74 tahun 2014 tentang perdagangan.
Selain itu, perda mihol juga berlawanan dengan peraturan presiden (perpres) nomor 74 tahun 2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol. Dalam perpres mihol sebagai barang dalam pengawasan.
Baca Juga: Perda Mihol DItolak, DPRD Surabaya akan Banding ke Mendagri
Ira menjelaskan, akan mengembalikan draft perda tersebut kepada pansus mihol DPRD Surabaya. Ira mengaku belum bisa ambil sikap. Karena perda itu harua dikomunikasikan dengan pansus. "Kalau pansus bersikukuh dengan isi perda, kemungkinan akan ditolak lagi," jelasnya.
Sementara Achmad Zakaria, Anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya mengatakan, tindak lanjut Perda Larangan Minuman Beralkohol oleh Gubernur Jawa Timur tidak jelas. Revisi yang menyiratkan penolakan itu, menurutnya tidak sesuai dengan Undang-undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Karena UU 23/2014 hanya memberikan wewenang bagi pemerintah provinsi atas Perda kabupaten/kota, menolak sepenuhnya atau menerima sepenuhnya," ujarnya.
Baca Juga: Mendagri Cabut Perda Larangan Miras, Tjahjo: Itu Fitnah
Menurutnya, penolakan Perda disertai revisi, atau yang biasa disebut klarifikasi, hanya termuat di UU 32/2004, UU 12/2011, dan Permendagri 1/2014. "Di aturan-aturan itu, pemerintah provinsi masih berwenang mencoret-coret isi perda. Ini sama dengan mengulang tradisi tiga tahun lalu. Makanya kami bingung, harus hati-hati mencernanya," katanya.
Mantan Anggota Pansus Raperda Minuman Beralkohol ini mengatakan, karena itu dia berkonsultasi dengan ulama. Ulama meminta dewan untuk melakukan banding. "Tapi kami masih akan konsultasikan juga dengan pakar hukum, ulama, dan pemuda, supaya jangan sampai dialektika hukumnya kurang kuat. Intinya, pihak yang pro pelarangan minuman beralkohol tetap akan berjuang," katanya.
Zakaria mengklaim, surat penolakan Gubernur Jatim atas Perda Mihol yang disahkan beberapa bulan lalu merugikan masyarakat. "Karena kami diminta untuk memasukkan kembali pasal-pasal yang kami sendiri sudah sepakat dilarang, menjadi pengendalian. Ini sama dengan mundur ke belakang. Sama halnya kami mundur ke tiga tahun lalu. Akhirnya rugi sendiri," katanya.
Baca Juga: Perda Larangan Mihol Siap Disahkan, Semua Ormas bakal Diundang
Upaya banding, kata Zakaria, sudah ada dalam Undang-umdang 23/2014 tentang Pemda. "Apabila ada perda-perda yang ditolak oleh Pemerintah Provinsi bisa melakukan protes keberatan atau banding ke Kementerian Dalam Negeri. Atas nama wali kota dan DPRD. Tapi memang, aturan teknisnya belum ada," katanya.
Karena belum adanya aturan teknis UU Pemda terbaru itu, Zakaria mengatakan, DPRD Kota Surabaya akan berkonsultasi kepada Kemendagri. "Kami butuh waktu, karena kami perlu berkonsolidasi, baik dengan pakar, juga dengan fraksi lain," katanya. (lan/ros)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News