BANGSAONLINE.com - Lantaran selalu kritis menyoroti praktik korupsi, Mathur Husyairi dan kelempoknya kerap kali berusaha dilemahkan. Bahkan, Mathur sempat menjadi korban penembakan orang tak dikenal dan harus dirawat di RS Dr Soetomo.
Anda pernah ditembak orang tak dikenal di Bangkalan. Apa benar terkait aktivitas Anda sebagai aktivis anti korupsi. Bisa Anda ceritakan kronologisnya?
Baca Juga: Kejagung Tangani Kasus Dugaan Oknum Jaksa Terima Suap di Jombang
Saya beraktivitas sejak tahun 2004 ketika mengawal dana bantuan pengungsi Sambas dan Sampit, kemudian di tahun 2011 kami mendirikan Bangkalan Corruption Watch (BCW) dengan beberapa aktivis LSM lainnya.
Kami memang aktif memantau dan menelusuri berbagai bentuk korupsi di Bangkalan. Kalau level Polres, Kejari, Polda dan Kejati sudah tidak mempan untuk menembus Bangkalan saat Fuad Amin berkuasa. Harapan kami hanya KPK, sejak tahun 2009 kami secara pribadi dan kelembagaan mulai intens berkomunikasi dan menyuplai informasi ke KPK. Singkat cerita di akhir tahun 2014 mantan Bupati Bangkalan ditangkap KPK karena OTT jual beli migas di Bangkalan.
Karena kelompok kami sangat kecil, hanya 15 orang yang solid dan menjadi penggerak, maka kami sangat mudah dipetakan dan berupaya dilemahkan dengan berbagai cara, mulai rayuan iming-iming uang, teror, penganiayaan dan upaya pembunuhan. Tiga orang teman kami dibacok dan terakhir saya ditembak di depan rumah.
Baca Juga: Kejari Pamekasan Ringkus 4 Tersangka dalam 2 Kasus Korupsi pada 2024
Sejak kapan Anda jadi aktivis anti korupsi?
Kalau aktivis secara individu sejak saya masih kuliah, tapi resmi secara kelembagaan ya sejak mendirikan Bangkalan Corruption Watch dan sekarang berubah Madura Corruption Watch.
Kenapa Anda memilih jalur perjuangan yang penuh resiko? Apa ada sejarah tertentu sehingga Anda terjun ke dalam gerakan anti korupsi ini?
Baca Juga: Kerap Difitnah soal Dugaan Korupsi, Gunawan HS: Bukti Nyata Sudah Banyak Dirasakan Masyarakat
Ini hanya bentuk kesadaran dan panggilan nurani saja. Kalau sejarah tertentu, bisa saya katakana bahwa korupsi bantuan pengungsi Sambas dan Sampit adalah titik awal kemarahan saya terhadap bupati saat itu yang tega memakan uang bantuan pemerintah untuk saudara atau rakyatnya yang sedang ditimpa musibah.
Bagaimana situasi lingkungan Anda (keluarga, tetangga) sehingga Anda menjadi aktivis anti korupsi?
Saya lahir dari keluarga petani dan pedagang di sebuah Desa Semparuk, Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat pada tanggal 4 Juni 1975. Keluarga kami adalah keluarga santri dan hidup sederhana. Kami hidup berdampingan dengan berbagai etnis di Sambas, ada suku bugis, jawa, melayu dan china.
Baca Juga: KPK Geledah Rumah Dinas Abdul Halim Iskandar
Menjadi aktivis anti korupsi mengalir saja hasil tempaan alam dengan pengalaman di berbagai organisasi sejak di kampus dan luar kampus. Inspirasi saya adalah pengahayatan terhadap ajaran agama Islam yang membebaskan diri saya. Saya sekolah di SDN 25 Teluk Nangka di Sambas (1987), MTs YASTI di Sambas (1990), MA Miftahul Ulum di Penyepen, Pamekasan (1996), dan Fakultas Tarbiyah PAI di IAIN Sunan Ampel (2001). (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News