“Bumi Hangus Surabaya”

“Bumi Hangus Surabaya” Suparto Wijoyo

SANTRI menghentak jagat menjaga NKRI usai mendapat “sabda agung” yang tertuang di naskah Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945. Pergolakan mempertahankan Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersemat revolusioner menohok “kolusi strategis” Belanda, Inggris dan Jepang di balik “kelambu” NICA serta AFNEI. Hizbullah dari wilayah Jombang, Mojokerto sampai Bondowoso dan Sidubondo tumplek blek di Surabaya. Pertempuran berlangsung dari Perak hingga Wonokromo berjejer sambung-menyambung. Hari-hari itu di bulan Oktober-November 1945 amatlah keras dan brutal. Bumi hangus Surabaya berlangsung terang dan dibayar mahal pasukan Sekutu dengan lelehan tangis yang pahit.

Rekam jejak pertempuran yang beralas hukum syariah dalam Resolusi Jihad terbidik berbalik dengan gempuran ekonomi yang sangat tidak adil di kancah ekologi perkotaan di abad ke-21. Sekarang semua tahu bahwa Surabaya tengah memamerkan auratnya. Apa yang sedang melanda “Kota Jihad” tercinta? Adakah arah zaman kota ini sedang terputus titik-titik rotasi masanya dalam lingkup yang menggelisahkan? Warga kota merasakan sesak nafas kultural untuk menghelakan desah panjang guna merenungi jalan pengembaraan yang seolah gagal menemukan “tanah harapan”.

Baca Juga: Optimalisasi dan Tantangan Literasi Menulis bagi Mahasiswa !!!

Sebuah kota akan berduka apabila “tatanan organiknya” diam seribu bahasa untuk tidak memberikan “pesan-pesan suci” apapun. Pertanyaan yang segera menggelegak adalah: bagaimana wajah Surabaya masa depan? Mari dipelototi Kota ini. Tidakkah kota ini gemerlap tetapi kehilangan identitasnya dalam tingkatan yang memilukan? Lambat tapi pasti metropolitan semakin menepikan kepahlawanannya dalam mengenang heroisme warganya. Hedonisme telah menyertai dan menguasai hampir seluruh segmen kehidupan warganya.

Kota ini laksana “hamparan tanah kosong” yang penuh pengintai. Atau kota ini bagaikan lahan tidak bertuan yang sedang dikangkangi penjajah? Mencermati persemaian kehidupan Surabaya seperti membaca kisah “peti mayat tua”. Tatanan yang menyuguhkan “jenazah raksasa diformalin” dengan gedung jangkung yang acap membusuk. Kondisi ini jelas menafikan cita dasar konsepsi kota berkelanjutan (sustainable city) yang terus diimplementasikan di banyak kota dunia. Sejatinya Surabaya dikepung para “gerombolan” yang tidak jelas “asal moyangnya sewaktu dikeluarkannya Resolusi Jihad”?

Tengoklah apa yang terjadi di Wonokromo sampai Kenjeran misalnya. Pernahkah kita mendengar lagu bernas indah “… semanggi Suroboyo … lontong balap Wonokromo…”. Ketahuilah bahwa lontong balap Wonokromo telah dimakan “Mbah Darmo”. Banyak orang sekarang senang menyebut mau belanja ke “pasar modern” daripada menyapa Wonokromo maupun Ketintang. Lama-lama dikhawatirkan apa yang akan terkonstruksi adalah senandung “hilang sirna kertaning bumi” persis dengan perjalanan panjang Kerajaan (super power) Majapahit.

Baca Juga: Dampak Positif dan Negatif Era Revolusi Industri 4.0 dalam Hal Komunikasi

Simaklah apa pula yang terjadi di Wonocolo tentang gedung tua Pabrik Kulit yang menemui ajalnya dan dikuliti secara telanjang dengan munculnya bangunan baru yang merobohkan situs tuanya. Ada pula penghinaan yang sedang terjadi di belantara Tuguh Pahlawan. Kenyataan kurang sensitif sedang menggelayut di Tuguh Pahlawan. Berdirinya empat patung “Laskar Romawi” yang dengan pongahnya menatap Kantor Gubernur (semoga saja menjadikan para Calon Gubernur ingat bahwa dirinya sedang dalam bayang-bayang adikuasa lain yang “menyergap” Tugu Pahlawan).

Diawali dari menghapus bangunan pasar tradisional Wonokromo, Pabrik Kulit, pendirian patung “liar” di Kenjeran, lantas menepis kampung di Pakis, dan pada akhirnya adalah Surabaya secara total. Areal Stasiun Semut dan Jembatan Petekan pun tidak mendapatkan perlakuan semestinya. Ini adalah sisi lain pembumihangusan budaya “kreatif” yang menepikan “warna hibitat” kota. Mengapa generasi sekarang tampil sedemikian barbar dalam merengkuh “kejayaan” dengan menendang “bola sejarah” pembangun kota. Sudah sedemikian culaskah pikirannya dalam “menginjak” situs sejarah perjalanan Kota?

Lantas siapakah diri kita ini, tatkala membiarkan kota dizalimi “penziarahnya” yang tumpul rasa? Ikutilah lagu Indonesia Raya: … bangunlah jiwanya … bangunlah badannya. Sebuah pesan yang mengingat keunikan-keunikannya. Arek-arek Suroboyo harus menggeliatkan diri menyongsong hati (peduli) kotanya. Segenap bangsa wajib bergerak dalam ritme sejarah yang “hebat” untuk menghentikan “penenggeleman” identitas Surabaya?

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Oke … oke … Itu semua ulah siapa? Secara yuridis mudah dipahami bahwa perilaku warga kota tidak mungkin terjadi tanpa restu hukum penguasanya? Secara administratif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) pasti ada pijakan hukumnya, termasuk berupa izin konstruksi. Izin merupakan instrumen hukum (legal instrument) untuk mengendalikan perilaku warga (sturen).

Dari berbagai kasus sersebut niscaya disadari bahwa “pemegang mandat” memanglah menjadi lini terdepan dalam menentukan persoalan kota. Ibarat shalat, kota itu mempunyai imam dan kita sedang shalat bersama dalam “masjid besar” Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Bagaimanakah cara mengingatkan sang imam dan maukah ia membuka diri untuk melakukan penyelamatan dengan “mengembalikan niatnya” sesuai dengan spirit berdirinya? Percayalah, penghilangan “nama-nama tetengernya” merupakan sebuah pertanda bahwa sebuah kota sewaktu-waktu akan tersengal.

Oleh Suparto Wijoyo, Esais, Akademisi Fakultas Hukum, & Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Baca Juga: Output Sekolah Rendah, Salah Siapa?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO