Oleh: Suparto Wijoyo*
PERKEMBANGAN subyek hukum tengah menyuguhkan episode yang dramatik dan sangat telenovelis untuk diikuti, mulai dari persidangan Setya Novanto yang tampil “percaya diri dengan keloyoannya” maupun mengenai Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 tertanggal 14 Desember 2017 yang diucapkan untuk umum pukul 10.54 WIB.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Mantan Ketua Umum Partai Golkar yang disidang dalam kasus e-KTP itu, memiliki daya kreasi yang sangat fantastis dan “mendesahkan tarik nafas” publik luar biasa: menjengkelkan sekaligus menghibur. Sementara Putusan MK menggelinjangkan pandangan yang menukik ke dalam dasar martabat bangsa.
Perzinaan dan LGBT disorot khalayak dalam belahan opini yang tajam: di satu pihak, putusan itu dianggap melegalisir LGBT, dan di sisi lain bagi para pembela MK ada “manuver” pakar hukum kelas wahid turun gelanggang sambil membuat cuwitan yang terkesan menggurui: bacalah secara utuh Putusan MK agar tidak salah paham. MK tidak menjustifikasi, tetapi hanya menempatkan secara proporsional bahwa MK bukan pembuat norma melainkan sebatas menguji konstitusionalitas aturan KUHP terhadap UUD 1945.
Padahal pembelajar hukum pasti mafhum bahwa sejatinya setiap putusan otoritas mahkamah adalah “pembuka ruang formulasi norma atas perkara yang diadili”. Norma yang berkembang sebagai implikasi dari putusan yang dinilai sebagian orang “vakum norma” itu adalah menyangkut LBGT dan perzinaan sesama jenis. Hal ini dinilai bukanlah “urusan norma hukum” bagi MK, melainkan ada di ranah rezim “legislasi aktif”. Pandangan yang menjumbuhkan dan memisahkan “air laut dengan asinnya”.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Sebangun dengan ragam masalah hukum yang kian berkembang, muncul pula pernyataan Presiden USA, sang papa tua Donald Trump mengenai pengakuan sepihak atas pengibukotaan Jerusalem untuk Israel. Aksi bela Palestina pun dihelat semarak sebagai bukti adanya “riak-riak” yang akan menjadi gelombang besar dunia. Kota-kota negara muslim bergerak dan umat Islam Indonesia tidak mau ketinggalan. MUI memanggil umatnya untuk kumpul di Monas pada 17 Desember 2017.
Spektakuler. Itulah kata yang saya hantarkan untuk persekutuan jiwa muslim Indonesia di Monas. Barisan yang rapi, kesopanan yang terukur, lokasi yang terjaga kebersihannya, sekaligus ongkos yang sangat mandiri. Inilah bukti kemampuan umat Islam mengorganisir dirinya yang tidak tertandingi oleh kelompok manapun yang selama ini berunjuk rasa dengan “angkat tema politik” yang tampil penuh sahwat memperebutkan nasi bungkus, nasi kotak, dan sampah berserakan, serta taman yang diperinjakkan. Umat Islam di Monas dalam menjaga aksinya memukaukan penilaian. Dan sebagai pihak yang menyaksikan acara Aksi Bela Palestina itu dari dekat, sungguh saya perlu belajar sebagai tanda hormat.
Dalam diskusi kecil dengan para pelaku aksi yang selama ini acap kali hadir di “gerakan massa Monas” untuk wilayah Jabar dan DKI, saya menaruh rasa terima kasih atas segala ikhtiarnya dalam mengingatkan dunia. Trump hanyalah mengekpresikan keputusan yang telah tersimpan diam-diam di wilayah “pendidikan Indonesia” yang mengakui Jerusalem adalah ibu kota Israel, seperti tertulis dalam buku anak SD yang viral itu.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Jangan-jangan, orang-orang Trump telah membaca buku pelajaran anak-anak SD Indonesia dan mengetahui ternyata negara muslim terbesar itu memberi pelajaran “instruktif” yang menyatakan bahwa Israel beribukota di Jerusalem. Buku ini ditulis dan dibaca oleh anak-anak sekolah bahwa Indonesia memberikan pengakuan “tersembunyi” dengan cara “meneledorkan diri” sambil menyalahkan rekanan penerbitan. Realitas yang bisa dibaca beda sebagaimana dengan membaca Putusan MK dimaksud.
Maka pidato-pidato yang membawa nama institusi resmi tampak hambar meski harus hadir di “kamar-kamar perundingan OKI”. Dalam lingkup ini MUI membaca dengan hati, bahwa ada yang masih perlu ditegaskan: Aksi Bela Palestina. Jutaan orang “menyemut” memenuhi panggilan kodratnya untuk solider dengan sesama muslim maupun kemanusiaan mengenai apa yang terjadi di bumi Palestina.
Dalam lingkup ini, gempita aksi terus dibaca dan pimpinan ormas yang merasa “super” dan terbidik menjadi “jubir” yang sangat aktif, agar peserta aksi tidak membawa bendera organisasi pimpinannya. Seloroh pun muncul: memangnya umat organisasinya yang turut menyemarakkan pergerakan ini mendengar suaranya yang terus lirih dalam keperihan hati umat, tetapi teriak lantang dalam barisan kuasa tanpa mampu menjadi penyemibang yang adil. Jenggot saja dia adili. Suatu tamparan keras yang mestinya para petinggi ormas ini segara mengambil langkah “kemaslahatan” terhadap pucuk pimpinan yang tampil seperti sedang “berteriak di padang oasa imajiner”: berpenampilan tidak tahu kondisi hati warganya.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Semua problema itu sepertinya hadir melengkapi mencuatnya “parade” persekusi yang menghampiri ulama, sejak dari kasus yang pernah menimpa jajaran MUI sampai pada dai kondang yang diakronim UAS. Langkah hukum ditempuh dan kabar sebelah ruang sidang juga berujar tentang hilangnya nama-nama penting dari lembar pekerjaan Jaksa di dokumen hukum e-KTP. Kebetulan yang “diraibkan” dari onggokan berkas itu berasal dari partai yang sedang memanggungkan kuasanya. Hal itu semakin lemgkap dengan “dukungan” yang sangat “vulgar” dari Ketua Umum ICMI yang hendak “membuka pintu lebar melanjutkan posisi dua periode”. Kemudian, titik-titiknya disambung melalui kerjasama organ ini dengan parpol yang telah “menghaki” kosakata “pekik merdeka tanpa takbir”.
Soal hilangnya jajaran tersangka maupun terdawa dari berkas yang melibatkan Setnov, menjadikan orang berpikir dan memunculkan persaksian bahwa hukum tidak imun terhadap situasi kolektif subjeknya. Status ketersangkaan ternyata memiliki lapis-lapis perlakuan. Ketersangkaan tanpa konsekuensi tematik terdekatnya menjadikan tanda tanya dalam narasi penegakan hukum.
Inilah titik di mana hukum dalam kosmologi ketersangkaan ternyata bukanlah akhir dari kisah dugaan kejahatan. Pada lingkup ini langit-langit negara selalu menorehkan berita hukum yang membuat jutaan rakyat memasuki etape sorak-sorak nestapa, bukan sorak-sorak bergembira, sebuah sorakan massa “setimpal” dari yang terlontar kepada sang menteri yang “beda rasa” dalam Aksi Bela Palestina.
Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam
*Penulis adalah Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News