Sumamburat: Eco-Leaders

Sumamburat: Eco-Leaders Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

GENDERANG pilkada semakin bertalu-talu sejak episode pendaftaran tanggal 8-10 Januari 2018 lalu, dengan diiringi bebunyian yang beragam di 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten). Pertarungan diunggah dengan gempita pesta yang diniscayakan memiliki premis tunggal bagi khalayak ramai dalam janji: pemilihan yang meneguhkan persatuan.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Artis dangdut disewa dengan harga melebihi para penghafal kitab suci. Negeri guyonan untuk menghargai sebuah alunan ayat Tuhan dengan lembar sepeser rupiah. Pejoget nan biduanita dari Ibu Kota “disewa” sambil mengambil gambar dengan menggunakan fasilitas daerah. Pendopo kabupaten dikira “panggung goyang pinggulnya”. Pilkada ini memang “menyenyumkan tawa”. Humor politik yang berbiaya aduhai.

Memang. Pilkada bukan media ontran-ontran yang meledakkan huru-hara, melainkan instrumen demokrasi untuk memberi solusi atas berbagai masalah negara, termasuk problem ekologi. Simaklah sajian berita yang pernah dilansir beragam media sampai Sumamburat ini ditulis.

Tragedi hidrometeorologi tahun lalu, 2017 terinci: 787 banjir; 716 puting beliung; 614 tanah longsor; 96 karhutla; 76 banjir disertai tanah longsor; 19 kekeringan; 20 gempa bumi; 11 gelombang pasang dan abrasi; serta 2 gunung meletus. Ribuan bencana ini menimbulkan korban jiwa maupun harta benda: 377 meninggal dan hilang, serta 3,5 juta mengungsi dan menderita. Adapun kerusakan yang dialami meliputi: 47.442 rumah, 1.272 sarana pendidikan, 113 sarana kesehatan, 698 sarana peribadatan.

Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin

Jumlah kerugian finansial amatlah spektakuler: Rp 11 triliun akibat erupsi Gunung Agung, Rp 1.13 triliun karena siklon tropis Cempaka, Rp 338 miliar di kasus banjir Balitung, Rp 253 miliar “tergerus” banjir yang melanda Lima Puluh Kota, dan Rp 68 miliar “hilang” disapu longsor di Cianjur.

Angka-angka itu bukanlah sekadar hitungan statistikal semata, melainkan genta suara yang menggedor kesadaran agar leader tidak abai pada kepentingan lingkungan. Rupiah yang dikalkulasi sejatinya mendeskripsikan fakta betapa besar ongkos yang harus dibayar akibat kegagalan publik menjaga kelestarian alamnya.

Rentetan prahara ekologi di 2017 yang menggema di 2018 melalui gempa dan banjir merupakan produk dari kebijakan lingkungan yang telah lama dipancangkan. Selama ini kita berbuat destruktif terhadap hutan, bentang alam, pekarangan, sawah ladang, sungai dan lautan yang membentang. Paslon dan para pemilih saatnya introspeksi tentang perilakunya yang terkesan fasih ekonomi namun gagap ekologi, serta lemah dalam menyikapi alih fungsi lahan yang berlangsung TSM (terstruktur-sistematis-masif).

Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar

Terlalu simplistik apabila kepala daerah menyorongkan pemahaman bahwa bencana adalah takdir dan siklus tahunan. Penguasa itu dilarang oleh hukum untuk mengantrikan penduduknya mengundi derita mengenyam nestapa. Kalau lah usai coblosan nanti ternyata tetap saja tersaji banyak bencan alam, maka pilkada sesungguhnya sedang digugat manfaatnya untuk perlindungan lingkungan. Buat apa ada tahun politik yang menyedot anggaran negara triliunan rupiah demi atribut demokrasi tetapi amnesia terhadap lingkungan?

Berpuluh-puluh tahun kawasan lindung dipaksa melakukan bunuh diri ekologi (“ecological suicide”) dengan konversi lahan tanpa kendali. Hutan-hutan digerus berlahan tapi pasti untuk diubah menjadi areal pergudangan, kawasan industri tanpa konservasi, maupun properti yang nirekologi.

Penjungkirbalikan pemanfaatan ruang dipertontonkan dengan vulgar di era otonomi daerah. Ini semua harus dihentikan melalui pilkada 2018. Paslon harus tahu bahwa mengubah hutan menjadi “kebun raya” adalah pilihan yang membahayakan masa depan. Mengatasi banjir dan tanah longsor pastilah dengan merawat hutan yang berupa tegakan pohon, bukan ranting-ranting vegetasi “kebun jahe”.

Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis

Kebijakan perhutanan sosial mutlak menghadirkan penjaga-penjaga hutan, bukan penjarah paru-paru dunia. Laku sidakep pengawe-awe (main mata dengan perambah hutan) merupakan tindakan zalim secara ekologis, sehingga wajib dipungkasi. Konversi lahan hutan menjadi “ladang melon” yang berlangsung aksesif dan cenderung melegalisasi deforestasisaatnya dikoreksi total.

Jadikanlah pilkada 2018 sebagai tonggak penyelamatan negara dengan memilih pemimpin daerah yang pro lingkungan (eco-leaders). Hari-hari ini musti dihelat agenda strategis pembenahan tata kelola pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang bersendikan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan secara terpadu. Dengan demikian, orientasi pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengakibatkan defisit ekologi.

Pertumbuhan ekonomi yang inklusif bagi kinerja ekologi adalah opsi tunggal di era green century. Banjir dan kekeringan dapat dicegah dengan menghadirkan “Desa Hutan” dan “Kota Hutan”. Ini merupakan resolusi membangun negeri tanpa sengsara ekologi. Merehabilitasi, mereboisasi, dan mengonservasi kembali setiap kampung dengan membangun embung penampung air, lumbung pangan, gayung bersambung (irigasi) dan saung keamanan (siskamling) adalah kebijakan praktis yang mudah direalisir.

Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam

Kegiatan prioritas untuk mencegah banjir dan longsor maupun kemelaratan sosial dapat dimulai dari daerah-daerah penyelenggara pilkada. Mengabaikan hal ini berarti melakukan pembiaran “pementasan drama pembunuhan ekologi”dengan implikasi negatif dalam jangka panjang.

Kontestan pemilihan di daerah harus tanggap atas kerawanan kondisi geografis wilayahnya dan segera beranjak menawarkan visi ekologis. Tidakkah bencana selama ini telah memberikan pelajaran yang keras kepada para kandidat? Para paslon mesti berbenah dengan mengusung solusi ekologis.

Demokrasi tidak legitimate apabila hanya menghadirkan sosok-sosok serakah pemangsa sumber daya alam. Mengikuti saran brilian Jared Diamond melalui karya inspiratifnya, Collapse (2014): siapapun, perorangan, badan usaha dan negara dapat melakukan untuk menemukan cara mencegah peradaban ambruk karena dunia tak kuat menanggungnya. Selamat menyimak visi-misi lingkungan para calon kepala daerah, dan abaikan isu SARA. Our choice, eco-leaders.

Baca Juga: Kiai Manteb “Dalang Setan”, Ki Kanko “Setan Besar”

*Penulis merupakan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO