SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Gubernur Jawa Timur Soekarwo menilai kandidat petahana dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 rawan menggunakan fasilitas negara. Karena itu, masyarakat diminta untuk mengontrol, agar Pilkada berjalan fair dan adil.
Pejabat yang akrab disapa Pakde Karwo itu mengungkapkan bahwa tahun ini ada 18 daerah yang akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Selain Pemilihan bupati dan wali kota, nantinya juga akan digelar Pemilihan Gubernur Jawa Timur.
Baca Juga: Sahabat Ning Lia Nganjuk Sokong Lia Istifhama Menuju DPD RI
"Ada hal yang menarik yang disampaikan KPK, petahana harus dikontrol karena cenderung menggunakan fasilitas negara," kata Soekarwo, Selasa (6/2).
Soekarwo berharap, agar kandidat petahana di Pilkada Jatim sadar, dan bisa legowo untuk tidak memakai fasilitas negara ketika sosialisasi ke masyarakat.
"Saya kira ini indikasi yang dilakukan KPK harus dicermati. Mestinya fasilitas negara tidak digunakan," tegasnya.
Baca Juga: KPU Jatim Ajukan Anggaran Pilgub Rp 1,9 Triliun, DPRD Jatim: Tak Masalah, Asal...
Menurut dia, kandidat yang maju dalam Pilkada seharusnya jauh-jauh hari untuk tidak menggunakan fasilitas rakyat. Mereka harus paham dan mengetahui posisi tersebut. "Fasilitas negara tidak boleh digunakan, jauh hari bukan hanya pendaftaran," tambahnya.
Terpisah, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Airlangga Pribadi menilai statement Gubernur Soekarwo patut menjadi perhatian bagi warga untuk memantau pelaksanaan pilkada dan pilgub maupun para kandidat, khususnya kandidat petahana. Hal ini agar Pilkada 2018 dapat berjalan dengan fair dan sesuai dengan rasa keadilan publik dan wibawa negara.
Doktor ilmu politik dari Murdoch University, Australia ini mengungkapkan, fasilitas publik adalah bagian dari hak rakyat dan bentuk pelayanan negara, sehingga sudah semestinya bahwa hal ini tidak digunakan bagi kepentingan pemenangan politik dari pihak-pihak petahana.
Baca Juga: Ini 15 Nama Cagub Potensial Jatim 2024 Hasil FGD Political Centre
"Sebagai contoh penyimpangan fasilitas publik misalnya, beberapa waktu lalu penggunaan pendopo Sidoarjo untuk pembuatan materi kampanye dari pasangan kandidat gubernur petahana. Sudah semestinya hal ini tidak terjadi lagi dan perlu adanya teguran sekeras-kerasnya tidak saja dari Bawaslu, tapi juga dari kekuatan masyarakat sipil terkait bentuk-bentuk penunggangan fasilitas negara untuk kepentingan tertentu," urai Airlangga Pribadi. (mdr/ian)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News