Oleh: Suparto Wijoyo*
AREK Suroboyo. Inilah julukan yang menempa jiwaku sejak semula menghinggap dalam lubuk terdalam hingga menjadi selaksa azimat hayatku di kota Surabaya. Kata yang magis dalam membalut paseduluran secara elegan, egaliter, dan toleran berderajat keguyuban. Arek akhirnya menyemburatkan citranya sebagai pembungkus kesempurnaan jalinan sosial yang sangat etnik, unik dan menarik. Daya pendarnya terletak pada kesederhanaan nan kesetiakawanan total yang membuncahkan spirit kepahlawanan. Keluhuran budi dikalkulasi sejurus “hutang budi” yang membatinkan narasi sosial sebagai inti pribadi. Urusanmu yang di luar pagar dibawa masuk ke sumsum setiap sosok Arek. Arek Surabaya bukanlah diukur dari geneologis biologis tetapi keturunan ideologis sebagai kekayaan yang sangat katakteristik, khas, dan spesial dalam kutub pergaulan sesama warga Surabaya. Jiwa Arek yang berkesetaraan, bergotong royong, dan berkepahlawanan itulah yang merekatkan siapa saja yang hidup di Surabaya. Inilah rumah bersama kita.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Semua kepentingan dirumuskan dalam kelindan Arek Suroboyo yang bertindak tanpa pamrih, rame ing gawe serta mau memanggul beban sesama Arek. Perbedaan pandangan dan pendapat, apalagi pendapatan dikanalisasi dalam lorong kebersamaan. Arek Surabaya sedia berkorban untuk teman, sahabat, kawan, handai taulan dan tetangga demi terjagnya kerukunan. Sikap saling mengasihi dan membopong inilah yang senantiasa menjadikan Surabaya amat terang kekerabatannya. Tidak ada yang “menumpengkan diri” karena semua “mengambengkan kehendak”. Tidak ada yang boleh jumawah dan merasa kuat di Surabaya. Semua gelem ndeprok, duduk bersama untuk saling memahami setiap berkas jiwa yang beratribut Arek. Sikap terbuka dan terus terang tetapi dapat menjaga kepentingan bersama yang saling menyapa, bukan saling menyalahkan. Bahkan yang salah saja dapat ditopang dengan permaafan “guyon parikeno” agar tidak ada luka yang membekas dalam setiap orang Surabaya.
Makna teragung Arek Surabaya itu kini ternyata menggumpalkan “selendang” yang mengikis seduluran yang tanpa pernah disadari. Pengoyak jiwa Arek itu diam-diam terus merayap menggerogoti “nadi insani”. Sejak empat windu dan dasawarsa lalu terjadi gelombang yang berbarengan dengan angin yang semilir ke Surabaya. Gemuruh yang tergolong dalam sebutan investasi hadir menusuk dengan “permen ekonomi” yang terus merangsek ke dalam lubuk terdalam warganya. Tanah-tanah terkuasai dan gedung-gedung di bangun serta pertokoan-pertokoan serentak menjulang ke langit-langit metropolitan. Kawasan baru dibangun dengan membuat “slilit” nama-nama baru yang asing bagi Arek. Tetapi Arek-arek ini asyik dengan pujian yang menggerogoti nalarnya sampai akhirnya kota ini terkepung dengan peradaban yang “menggunting ulu hati”. Itu pun tidak menjadikan mereka merintih karena bangunan fisik dan penamaan-penamaan kawasan itu dianggap lambang modernisme yang niscaya. Padahal itu adalah “bangunan koloni” yang merangsek untuk meminggirkan kaum Arek ke luar gelanggang kampungnya.
Terhadap nama-nama yang asing itu setarikan nafas kini menjadi lumrah yang dalam sejarah kelak akan dicatat dalam lupa. Anak-anak menyaksi bahwa leluhurnya tidak beridentitas karena “predator” kota telah mencuci semua daya nalar dan pikir kotanya. Otlet-otlet market itu mendepak toko pracangan dan pasar klontong pun hanya tinggal legenda yang dijadikan dongeng pengantar tidur Arek-arek. Titik geografis Surabaya yang “membuyar” ini tidak pernah dianggap membahayakan oleh Arek Surabaya, tetapi pemberian nama Sunda dan Prabu Siliwangi justru diributkan dengan alibi yang datar. Bahkan akhir-akhir ini, di era yang berbilang setumpukan masa waktu yang disebut rezim, semakin mendedar jiwa Arek sekadar sekerumunan yang berkelambu ormas-ormas. Arek bukanlah ormas yang formalistik karena arek adalah binar kultural.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Simaklah “benturan kearekan” yang mewarnai Deklarasi #2019GantiPresiden. Ini fakta titik balik yang aneh. Mereka menolak atas nama Arek, sementara yang dipanggul adalah identitas kerumunan berbaju ormas yang memudarkan semangat Arek. Sebutan komunitas dianggitkan dengan pergolakan batin yang dicoba disejajarkan dengan Arek. Kerumunan itu dalam kancah demokrasi sangat tidak memiliki alasan konsepsi pergaulan persuroboyoan. Sikap aparat juga terlihat memiliki “koordinat” yang menjadi benderang di mana sejatinya mereka berdiri. Kerumunan itu akhirnya menjadi penguasa yang seolah menentukan jalannya negara. Teriakan menghardik gerakan damai itu terekam dan menjadi berita yang terbaca oleh khalayak.
Peradaban Arek yang sejati bolehlah antara yang Ganti Presiden dan yang tetap dapat tampil sepanggung dengan “jam tayang” yang sama. Kalaulah itu yang terjadi, betapa deklarasi ganti presiden maupun yang tetap akan mewujudkan keunikan berdemokrasi model Arek Suroboyo.
Saya dibuat melongo atas kerumunan yang menyembulkan suara gaduh sok kuat dan merasa merdeka di atas aturan negara. Pada situasi itulah saya tak menjumpai lagi Arek di Surabaya. Sebuah potret yang memperpanjang deret kerumun massa yang dibiarkan sengiangan ungkapan di deret tanggal 5 Agustus 2018, saat Lombok terguncang ulang gempa berupa selipan pidato petinggi yang mengumbarkan suara “kalau diajak berantem juga berani”.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Saat itu sesegara saya menyelamis ebagai pembuka “sandiwara saja” dan bukan manifes dari dramaturgi negeri ini. Dengan segala kekuasaan yang ada di tangannya, dia mampu “bermotor besar”, bermain drama jadi tokoh apa saja. Saya pun teringat buku Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980/2017). Ya … Negara Teater. Selanjutnya saya asyik menenggelamkan ruhani dalam lautan ilmu Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah yang mulai ditulis tahun 1203 sebagai risalah tentang Ma’rifah Rahasia-rahasia Sang Raja dan Kerajaan-Nya.
*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News