SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kontestasi pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) masih didominasi faktor kekuatan figur. Karena itu, kecenderungan masyarakat dalam memilih pemimpin masih didominasi melihat figur calon, setelah itu baru program kerja dan kemampuan.
Fakta itu karena masih tingginya faktor sosiologis yang mempengaruhi pemilih dalam memilih calon kepala daerah. Hal itu tak lepas dari pertimbangan bibit, bebet, dan bobot yang kental di pulau Jawa.
Baca Juga: Bawaslu Kota Surabaya Serahkan Laporan Hasil Pengawasan Pilkada 2020 ke Pemkot dan DPRD
Peneliti Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam mengungkapkan rasionalitas pemilih memang sedang tumbuh, tapi persentasenya masih minim, jauh dari angka ideal yaitu 55 persen. Dari hasil penelitian SSC, tingkat rasionalitas pemilih di perkotaan (urban) sekitar 38 persen. Sedangkan rasionalitas pemilih di wilayah rural (pedesaan) baru sekitar 22 persen.
“Masyarakat masih melihat faktor figur dalam memilih calon pemimpin terutama dalam pilkada. Pertimbangan fisik calon, gagah, cantik, dan berwibawa masih dominan dipilih," urai Surokim, Jumat (30/8).
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini menambahkan, secara umum ada dua faktor besar yang mempengaruhi pemilih dalam memilih calon pemimpin. Yakni fakor sosiologis dan faktor rasional. Untuk saat ini faktor sosiologis masih lebih dominan ketimbang faktor rasional.
Baca Juga: BSPN PDI Perjuangan Trenggalek Raih Peringkat Pertama Kinerja Terbaik dalam Pilkada 2020
Surokim membeberkan, faktor sosiologis terdiri dari sejumlah variable seperti suku, agama, etnis yang diikuti dengan faktor psikologis yakni karakter, gender, usia dan penampilan. Biasanya kian mendekati hari H di perkotaan faktor rasional baru bergerak naik disusul sosiologis dan psikologis.
Terpisah, Lia Istifhama yang selama ini didorong relawan dan elemen masyarakat maju dalam kontestasi Pemilihan Wali Kota Surabaya 2020 mengakui dominannya faktor sosiologis dan psikologis. Hal itu tak terlepas dari adab ketimuran. Lia mengungkapkan dalam budaya ketimuran tak lepas dari faktor bibit (keturunan), bebet (penampilan), dan bobot (kemampuan).
Karena itu, lanjut lulusan Unair dan Uinsa itu, ia tak memungkiri statusnya sebagai keponakan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jatim saat ini adalah sebuah fakta yang menjadi modal sosial bagi dirinya. Dengan status itu, ia lebih mudah diterima di berbagai lapisan masyarakat.
Baca Juga: Dilantik Besok Sore, Ini Harapan Warga Surabaya kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Baru
“Kalau soal keponakan Ibu Gubernur tak bisa dipungkiri, karena itu hubungan darah. Tapi saya juga beraktualisasi dengan masyarakat lewat organisasi dan bekerja keras untuk eksis di profesi yang saya geluti,” pungkas Semifinalis Ning Surabaya 2005 ini. (mdr/ns)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News