JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Jabatan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) terkesan sangat mentereng. Maklum, secara normatif jabatan itu bisa memberi nasehat, masukan, dan saran kepada Presiden sehingga punya potensi mempengaruhi kebijakan penting dan strategis tentang nasib bangsa. Namun faktanya, ternyata tak segagah namanya.
“Sulit memberi masukan, karena di Istana juga banyak para pembisik,” ungkap KH. Ahmad Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU yang pernah menjabat anggota Wantimpres kepada BANGSAONLINE.com suatu ketika. Abah Hasyim – panggilan akrab Kiai Hasyim Muzadi – sebelum wafat pada 17 Maret 2017 pernah diangkat menjadi anggota Wantimpres oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca Juga: Politikus PDI Perjuangan Ungkap Alasan Ahok Layak Maju di Pilgub Sumut 2024
Abah Hasyim dikenal dekat dengan Presiden Jokowi. Bahkan saat Jokowi umroh pada masa kampanye pilpres, Abah Hasyim inilah yang menjadi pembimbing di tanah suci. Karena itu, wajar jika ia kemudian diangkat sebagai anggota Wantimpres.
Namun secara fungsional, ternyata Wantimpres tak seperti yang ia bayangkan. Ia mengaku pernah dipanggil Presiden Jokowi bicara empat mata sambil makan bersama. “Saya hanya berdua dengan Jokowi di Istana. Pratikno tak boleh ikut,” kata Abah Hasyim.
Saat itulah Abah Hasyim menyampaikan banyak hal kepada presiden asal Solo itu. Masukan dan saran yang ia sampaikan itu hasil dari pantauan situasi setelah Abah Hasyim turba ke daerah-daerah di Indonesia. Ternyata semua saran dan masukan yang ia sampaikan itu tak di-follow up oleh Jokowi.
Baca Juga: Viral Ahok Bilang Jokowi dan Gibran Tak Bisa Kerja, PAN pun Bereaksi
Ya, itulah gambaran bagaimana realitas Wantimpres. Dulu Wantimpres itu bernama Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Namun pada 2002 terjadi Amandemen UUD 45. Maka pada 2003 - seperti dilansir lokadata.id - DPA dibubarkan. DPA dihapus dengan Kepres pada 31 Juli 2003 berdasarkan Amandemen UUD 45. Pada 2006 dibentuklah Wantimpres.
Memang, sejarah DPA dan Wantimpres cukup panjang. Pada 25 Sptember 1945 dibentuk DPA atas amanat pasal 16 UUD 45. Ketua DPA pertama adalah Margono Djojohadikusumo. Namun posisi DPA saat itu tidak jelas karena gejolak politik.
Pada 5 Juli 1959 terbit Dekrit Presiden. Lalu dibentuk DPA Sementara (DPAS). Ketua DPAS saat itu Presiden Soekarno. Namun pada 1967 DPAS dihapus. Lalu diganti DPA. Pada 31 Juli 2003 DPA dihapus berdasarkan Amandemen UUD 45. Pada 2006 dibentuk Wantimpres hingga sekarang.
Baca Juga: Ahok Pengibar Politik Identitas Tingkat Tinggi, Pernah Diberi Gelar Sunan Kalijodo
Namun yang perlu dicermati, kedudukan dan kewenangan Wantimpres beda sekali dengan DPA. Dulu DPA sejajar dengan Presiden. Kini Watimpres justeru bertanggungjawab kepada Presiden.
Ya, DPA dulu adalah satu dari lima Lembaga Tinggi Negara bersama DPR-RI, Presiden dan Wakil Presiden, MA, dan BPK. Setelah amandemen UUD 1945 (2002), Lembaga Tinggi Negara berisi tujuh tapi Wantimpres tak termasuk karena posisinya di bawah Presiden.
Karena itu wajar jika pengamat politik dari Unviersitas Indonesia Arbi Sanit meragukan fungsi Wantimpres sekarang. “Presiden mana sih dengerin Wantimpres? Itu lembaga konstitusional, tapi cara kerja enggak terkait langsung dengan presiden,” kata Arbi dikutip Indonesiainside.id, Jumat (13/12).
Baca Juga: Ahok Mencari Pemimpin Bersih
Menurut dia, Watimrpes pada era Jokowi beda dengan era Presiden Soekarno. “Berbeda sewaktu zaman Bung Karno. Mereka ikut rapat kabinet, ikut pembahasan. Kalau sekarang enggak ikut. Posisinya di luar,” tegas Arbi.
Arbi juga mengomentari tipikal politik Jokowi. Menurut dia, Jokowi cenderung suka-suka, tak mau melibatkan orang lain. “Orang dia maunya sendiri-sendiri saja kok. Mana keputusan dia itu yang oleh publik dibicarakan (bersama-sama), ahli bicarakan (bersama-sama), enggak ada. Kapan dia begitu?” tanya Arbi Sanit.
Lalu berapa gaji anggota Wantimpres? Abah Hasyim mengatakan sangat kecil. Ia bahkan mengaku selalu tekor jika ada kegiatan. “Aku torok (tekor) kalau ada acara,” kata Abah Hasyim sembari tertawa.
Baca Juga: Bersama 31 BUMN, SIG Beri Pelatihan Bisnis Terapan untuk 26 Pondok Pesantren di Jatim
Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia no 15 tahun 2007 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lain Ketua dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, maka gaji yang diterima anggota Wantimpres Rp 6 juta tiap bulan.
Namun dalam pasal 1 ayat (1) anggota Wantimpres selain mendapat gaji juga dapat tunjangan. Yaitu tunjangan kehormatan sebesar Rp 3,3 juta, tunjangan kesehatan sebesar Rp 2,2 juta, tunjangan perumahan Rp 5 juta dan tunjangan pengganti pensiun Rp 1 juta.
Jika ditotal, maka anggota Wantimpres tiap bulan mendapat penghasilan Rp 17,5 juta. Khusus ketua Wantimpres mendapat tunjangan sebagai ketua sebesar Rp 1 juta. Jadi ketua Wantimpres tiap bulannya mendapat Rp 18,5 juta.
Baca Juga: Anggota Tim Ahli Hukum Wantimpres Buka Layanan Konsultasi Gratis di Surabaya
Gaji dan tunjangan Wantimpres itu dianggarkan dari Sekreteriat Negara.
Beda dengan anggota Wantimpres, gaji staf khusus Presiden jauh lebih besar. Gaji dan tunjangan staf khusus Presiden mencapai Rp 51 juta tiap bulannya. Ini diatur dalam Peraturan Presiden Indonesia Nomor 144 tahun 2015 tentang besaran dan hak kuangan bagi staf khusus presiden, staf khusus wakil presiden, wakil sekretaris pribadi presiden, asisten dan pembantu asisten.
Lebih jauh lagi dibanding gaji para komisaris BUMN, terutama Pertamina yang mencapai miliaran rupiah. Gaji Ahok, misalnya, sebagai komisaris utama sebesar Rp 3,2 miliar tiap bulan.
Baca Juga: Kampung Akuarium Digusur Ahok, Kini Tanahnya Dibawa Anies ke IKN, Apa Maksudnya?
Para anggota Wantimpres yang diangkat oleh Presiden Jokowi adalah politikus senior partai Golkar Agung Laksono, politikus PDIP Sidarto Danusubroto, Taipan pemilik Grup Mayapa Dato Sri Tahir (Ang Tjoen Ming), Komisaris Utama PT Mustika Ratu Tbk, Putri Kus Wisnu Wardani, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya alias Habib Luthfi. Juga politikus senior PPP Mardiono, pendiri Medco Group Arifin Panigoro, dan mantan Gubernur Jawa Timur Sukarwo alias Pakde Karwo. (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News