​21 Karakter Gus Sholah, Mengenang 100 Hari Wafat Sang Kiai Manager

​21 Karakter Gus Sholah, Mengenang 100 Hari Wafat Sang Kiai Manager Penulis saat bersama Ir KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dalam acara di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng Jombang. Tampak juga Gus Umar Wahid (saudara Gus Sholah). foto: BANGSAONLINE.com

Beliau sangat senang, jika tulisannya dimuat di banner bagian atas HARIAN BANGSA, halaman satu. Menurut beliau, tempat itu sangat strategis.

Suatu ketika beliau mengirim tulisan. Karena banner atas itu ada berita penting, tulisan saya pindah ke samping. Agak ke bawah. Ketika Koran HARIAN BANGSA pagi-pagi sampai di , beliau WA saya. Intinya beliau tak berkenan. Saya merasa bersalah. “Nggih Gus, ngapunten,” balas saya di WA. Minta maaf. Sejak itu setiap mengirim tulisan, selalu saya muat di banner atas.

3. Pantang Menyerah, Meski Tulisan Ditolak

Bagi tokoh publik, menulis adalah keniscayaan. Sebab dari tulisan itulah kualitas pemikiran seorang tokoh bisa dinilai publik. Namun menulis di media massa tak mudah. Perlu belajar terus menerus. Perlu kegigihan. Termasuk .

pernah cerita kepada saya. Tentang proses kreatifnya sebagai penulis. Menurut beliau, semula media tak langsung memuat tulisan-tulisannya. Tapi beliau tak putus asa. Beliau terus menulis. Terus mengirimkan tulisan-tulisannya. Bahkan, beliau mengaku sampai 28 kali (jika saya tak salah ingat) mengirim tulisan ke media massa. Baru setelah itu tulisan beliau dimuat.

Peristiwa seperti ini sangat lumrah. Dalam dunia tulis menulis. Bahkan semua penulis mengalami peristiwa penolakan yang sama. Seorang pengarang terkenal bahkan mengaku tulisannya baru dimuat di surat kabar setelah 78 kali mengirimkan tulisan ke media massa.

4. Jadi Pengasuh, tapi Belajar tentang Pesantren

Pada 2006 mendapat mandat sebagai pengasuh Pesantren . Menggantikan KHM Yusuf Hasyim. Ternyata tak keminter. Beliau justru belajar. Tentang sejarah dan manajerial pesantren. Beliau mencari buku-buku tentang pesantren. Salah satunya berjudul Tradisi Pesantren. Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Karya Zamakhsari Dhofir.

Buku ini adalah disertasi Dr Zamakhsari Dhofir. Saat S3 di Australian National University (ANU) Australia. Obyek penelitiannya tentang Pesantren dan Pesantren Tegalsari. Semarang. Jawa Tengah. Penelitian itu dilakukan pada 1977-1978. Namun buku ini terbit pertama pada 1985.

Buku ini saya sebut “babon pesantren”. Karena buku inilah yang kali pertama menulis pesantren secara positif dan inspiratif. Sebelumnya, pesantren sering ditulis negatif, terutama oleh penulis Islam modernis yang alergi terhadap pesantren dan NU. Ironisnya, penulis-penulis Barat justru banyak merujuk pada buku karya penulis anti pesantren itu. Maklum, saat itu pesantren dan NU masih miskin penulis.

Selain itu, buku ini sangat gamblang menggambarkan pesantren sebagai kekuatan sosial, kultural dan keagamaan, disamping membentangkan data tentang jaringan kekerabatan kiai dan geneologi keilmuan kiai pesantren yang bertumpu pada Hadratussyaikh.

Saya kebetulan punya buku ini sejak nyantri di . Nah, tampaknya menyimak serius buku Tradisi Pesantren ini. 

Apalagi karakternya? Sabar. Masih banyak. Ikuti terus. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO