Tafsir Al-Hijr 41: Tuhan Berkampanye

Tafsir Al-Hijr 41: Tuhan Berkampanye Ilustrasi. foto: dephatralala.blogspot.com

Oleh: KH. Musta'in Syafi'ie...  

BangsaOnline - Ayat pendek ini bicara soal "shirath" (jalan) yang benar. Ditandaskan, bahwa jalan yang dimaksud adalah agama yang mengajarkan kejujuran, lurus, tidak ada liku, simpang atau bengkok (mustaqim). Agama yang dimaksud adalah agama islam yang dibawa oleh nabi Muhammd SAW.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Ayat pendek ini adalah solusi setelah terjadi drama alam langit yang melibatkan Iblis, malaikat dan Adam. Tuhan mencipta Adam sebagai penghuni baru yang berbahan baku beda dengan makhluq sebelumnya. Dengan cara-Nya sendiri, Tuhan memandang Adam lebih punya kelebihan dibanding yang lain, sehingga layak ditunjuk sebagai khalifah untuk mengurus bumi. Lebih dari itu, Tuhan menyuruh mereka bersujud, menghormati Adam tanpa ada penjelasan, "mengapa?".

Malaikat yang tadinya protes keras terhadap penciptaan Adam dengan alasan sudah tasbih, bertahmid dan bertaqdis, akhirnya tunduk dan mau bersujud. Sementara Iblis yang diam saja, tanpa tanggapan dan tanpa protes, ternyata mbendhol buri (dongkol di belakang) dan membangkang, tak sudi mematuhi perintah Tuhan dan bahkan menghujat. Iblis akhirnya mendapat fasilitas umur panjang dan bersumpah menjerumuskan Adam dan anak keturunannya. Nah, ayat ini adalah solusi Tuhan teruntuk anak keturunan Adam agar selalu berpegang pada ajaran agama yang lurus ini, supaya selamat dari godaan Iblis dan kroninya.

Dari dua sikap di atas, malaikat dan Iblis, kita bisa ambil pelajaran. Malaikat adalah makhluq polos, lurus dan obyektif sejalan dengan bahan bakunya, yaitu cahaya. Cahaya tak bisa berjalan membelok, maka mereka memprotes Tuhan, sekaligus mematuhi Tuhan. Karena belum mengerti, maka bertanya dan setelah dijelaskan, langsung patuh. Walhasil, apa yang dari Tuhan adalah benar mutlak yang wajib dipatuhi. Itulah keikhlasan beragama, sekaligus sebagai bukti keimanan sejati. Inilah yang mesti kita jalani.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Agama itu berdasar wahyu, titik. Soal akal dan hati hanyalah sebagai penunjang. Jadi, bila ada ajaran agama yang jelas ada dasar wahyunya, meski tak sejalan dengan otak kita atau tak selaras dengan suara hati kita, maka keputusannya harus patuh pada agama, tidak boleh ragu, apalagi mengikuti akal dan cita rasa sendiri. Keputusan agama murni dan obyektif karena berdasar ilmu Tuhan, sedangkan hasil pemikiran atau rasa pastilah bersifat subyektif dan ada pengaruh nafsu, meski sedikit.

Dalam syari'ah, tidak ada sesuatau yang mutlak negatif, juga tak ada yang mutlak positif. Semisal khamr, minuman keras, narkotik dan sebangsanya. Tuhan sudah menjelaskan secara jujur, bahwa di dalamnya ada unsur positif (manafi') dan ada pula unsur negatif (itsm kabir). Setelah dilakukan komparasi menurut cara-Nya sendiri, Tuhan lalu memutuskan bahwa unsur negatifnya lebih besar, maka tinggalkanlah.

Nah, di sini kita lihat keimanan kita. Bila anda meninggalkan total tanpa pikir apa-apa, termasuk yang senada dengan khamr seperti rokok, maka anda orang beriman yang tulus dan bersih. Bila Anda masih pikir-pikir, mencari celah manfaat dengan berbagai alasan padahal tidak pada saat emergensi, lalu membolehkan mengkomsumsi khamr, maka: satu sisi anda bisa dipuji sebagai orang cerdas, berpikir kontemporer, kontekstual, tidak tekstual dan sebagainya. Tapi di sisi lain anda sungguh lemah iman dan kurang tunduk kepada pemikiran Tuhan. 

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO