JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Saya tertarik dengan tulisan Ali Fauzi. Saya kutip lengkap tulisannya di bawah ini:
“Kalau ingin polarisasi Bachin (Babi China) dan Kadrun (Kadal Gurun) berakhir, “Kawinkanlah” Anies – Puan. Kalau masih satu kelompok, entah Bachin atau kadrun, polarisasi tetap ada. Bahkan bisa makin mengeras. Hal ini tentu buruk bagi NKRI. “Perkawinan” Anies – Puan memang butuh totalitas kenegarawanan elit parpol berkuasa. Bukan program lima tahunan seperti pedagang,” tulis Ali Fauzi saat mengomentari tulisan wartawan kawakan, Dahlan Iskan, di Disway, 2 Juni 2022.
Baca Juga: Tingkatkan Partisipasi Pemilih Gen Z, KPU Jatim Gandeng Influencer
Kenapa saya tertarik. Pertama, baru kali ini saya tahu ada kosa kata Babi China (Bachin). Bagi saya Bachin merupakan frase baru dalam percaturan buzzer dan influencer di media sosial. Selama ini yang saya tahu hanya cebong vs kampret. Atau cebong vs kadrun.
Ternyata ada istilah lain yang tak kalah menarik. Yaitu Babi China Vs Kadal Gurun. Dan frase ini terasa lebih pas ketimbang frase cebong-kadrun.
Kenapa? Karena Bachin sangat pas dengan karakter kelompok yang selama ini agresif menyerang kelompok Arab yang mereka rendahkan dengan istilah Kadal Gurun atau Kadrun.
Baca Juga: Presiden Jokowi Ultah ke-63, Prabowo, Khofifah, hingga Anies Ucapkan Selamat
(Foto ini diambil dari saudinesia.com. Dalam caption saudinesia.com tertulis: Foto diambil dari media anti Arab (dibaca anti sunnah)
Apa frasa babi tak merendahkan? Loh, bukankah babi makanan kesukaan orang China? Kalau dianggap merendahkan, bukankah frasa kadrun juga stigma merendahkan?
Baca Juga: Cawe-Cawe Jokowi Jilid II, Disebut Jegal Anies dalam Pilgub DKI 2024
Saya kira munculnya istilah Babi China Vs Kadal Gurun justru pas dan impas. Saya katakan pas karena dua binatang itu – babi dan kadal – mewakili hewan kesukaan mereka: China dan Arab.
Selain itu, babi adalah hewan yang identik dengan makanan orang China. Sedang kelompok kadrun justru mengharamkan. Maklum, mereka yang dicap kadrun adalah orang Arab yang rata-rata beragama Islam. Agama Islam secara tegas melarang umat Islam makan babi.
Saya katakan impas karena dua kubu yang bertikai dan saling serang secara kasar di media sosial itu sama-sama distigma sebagai kelompok binatang: babi dan kadal. Jadi, sekali lagi, impas.
Baca Juga: Kehilangan 9 Kursi DPRD DKI Gegara Musuhi Anies, PDIP Bakal Dukung Anies dalam Pilgub DKI?
Lalu siapa saja yang masuk kategori Bachin? Babi China adalah kelompok yang secara membabi buta menyerang kelompok Kadrun. Mereka selalu membela etnis Tionghoa dan kelompok yang beragama Kristen. Tak peduli salah atau benar. Dalihnya toleransi dan NKRI. Serangan mereka khas. Senjatanya intoleran. Padahal mereka sendiri juga intoleran. Bahkan rasis.
Masih ingat kasus Tsamara Amany, Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI)? Ia dicap kadrun gara-gara mengundurkan diri dari PSI oleh akun yang mengatasnamakan xeriaz_marhaenizi.
”Dia kan genetikanya ada bau-bau gurun pasir, jadi tidak betah dengan hal-hal yang berbau nasionalis jadi dia kembali ke habitat aslinya yaitu kadrun. Jika saya yang memegang otoritas tertinggi di Indonesia saya akan mengeluarkan dekrit untuk memerintah angkatan bersenjata kita untuk mengirim seluruh para keturunan imigran Arab Yaman tanpa reserve yang ada di Indonesia untuk dikirim ke camp solusi final akhir dan saya pastikan akan jauh ekstrem apa yang pernah dilakukan Nazi Jerman terhadap orang Yahudi,” tulis xeriaz_marhaenizi.
Baca Juga: Saksi AMIN Beberkan Kecurangan Pemilu di Sampang: Oknum Polisi Minta Coblos 02 Biar Aman
Tsamara pun membalas dengan serangan telak. "Halo, tolong @DivHumas_Polri. Ini keterlaluan. Bukan nasionalisme. Jelas fasisme," cuit Tsamara.
Mereka juga selalu menyerang Islam. Salah satu dedengkotnya adalah Pendeta Fundamentalis Saifuddin Ibrahim dan Tokoh Rasialis China Jozeph Paul Zhang.
Saya tak tahu apakah dalam kelompok Babi China itu ada penganut komunis. Yang pasti kelompok Bachin ini sangat sensitif ketika masalah komunis dan China diusik. Mereka langsung menyerang secara brutal ketika ada narasi yang menyudutkan komunis dan China.
Baca Juga: Tolak Jadi Menteri, Cak Imin Disebut Jajaki Maju Calon Gubernur Jatim
Yang menarik, mereka selalu menyangkal jika ada tokoh Indonesia yang menarasikan kebangkitan komunis. Mereka mengatakan bahwa komunis sudah tak ada. Menurut mereka, siapa pun yang melontarkan isu komunis hanyalah halusinasi. Jadi mereka berusaha menutup rapat seolah di Indonesia sudah tak ada komunis.
(Pendeta radikal Saifuddin Ibarahim dan istri. foto: facebook)
Baca Juga: Tumbangkan Puan dan Ibas, Caleg Pengeritik Jokowi Raih Suara Tertinggi se-Indonesia
Begitu juga ketika ada berita negatif tentang pemerintah China. Lebih-lebih menyangkut presidennya: Xi Jinping. Mereka langsung bereaksi. Selain membela, mereka juga melontarkan cacian. Tentu sesuai karakter buzzer mereka: kasar dan tak berakhlak.
Kedua, soal upaya meredakan polarisasi sosial politik yang kini sangat keras terjadi di Indonesia. Menurut Ali Fauzi, solusi politiknya adalah menduetkan Anies Baswedan dan Puan Maharani sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Ide ini menarik. Paling tidak, sedikit banyak, akan meredakan ketegangan. Apalagi PDIP - tempat Puan bernaung dan berkiprah - sangat plural, mewakili semua etnis dan keragaman sosial agama.
Baca Juga: Rekapitulasi Suara Pilpres di Pamekasan, Saksi Pasangan Amin Ungkap Bertambahnya Suara Paslon 02
Tapi persolaannya, polarisasi sosial politik itu terjadi bukan semata karena faktor ideologi dan agama yang kemudian didefiniskan sebagai politik identitas. Tapi justru karena faktor kepentingan kebablasan, terutama akibat karakusan kekuasaan dan ekonomi yang kemudian mengejewantah dalam wujud oligarki.
Karena itu solusi yang pas adalah gerakan internalisasi nilai kebangsaan, terutama menyelaraskan tindakan kita dengan nilai-nilai Pancasila. Kita harus sadar bahwa selama 20 tahun terakhir ini nilai-nilai Pancasila telah absen dari kehidupan keseharian kita.
Reformasi politik yang semula diagendakan untuk mengoreksi kediktatoran dan otoritarianisme politik Orde Baru justru menimbulkan kebebasan tanpa batas bahkan lepas samasekali dari etika Pancasila. Konsekuensinya, ego kelompok mengeras sehingga melahirkan oligarki politik yang lepas kontrol. Karena itu, sekali lagi, perlu kesadaran internalisasi nilai-nilai Pancasila disosialisasikan secara massif dan sistematis dalam kehidupan kita. Wallahua’lam bisshawab. (m mas'ud adnan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News