Gus Mukhlas Syarkun. foto: bangsaonline
Kini muncul pertanyaan di kalangan masyarakat, mengapa elit PBNU tidak menjaga legacy perjuangan Gus Dur soal demokrasi? Bahkan pengamat politik Fachy Ali lebih tajam lagi. Menurut Fachry Ali, PBNU sekarang malah menjadi subordinat penguasa yang sudah kuat, berhadapan dengan masyarakat yang kini posisinya lemah.
Apa yang disuarakan oleh Fachry Ali memperlihatkan bahwa PBNU belum bisa mengimplementasikan prinsip tawazun, yaitu keseimbangan. Mestinya PBNU bersama dengan barisan masyarakat yang posisinya lemah menghadapi bahkan menentang hegemoni oligarki.
Hal lain yang disoal adalah bahwa PBNU membiarkan benih dinasti semakin subur. Padahal dinasti akan membawa pada otoriter dan otoriter akan berdampak pada reaksi yang ekstrem.
Ini ironis, mengingat elit PBNU selalu beretorika akan memangkas benih benih radikalisme.
Apa yang dinarasikan Fachry Ali sesungguhnya mewakili suasana kebatinan mayoritas masyarakat, termasuk warga NU, yaitu menyoal mengapa sebagian elit PBNU mendukung politik dinasti. Padahal politik dinasti itu benih yang akan tumbuh subur menjadi tirani, khususnya di pihak penguasa, dan benih tumbuh subur untuk semaian radikal ekstremis di kalangan masyarakat.
Kita tetap optimistis hal ini akan disadari oleh PBNU. Sebab jika tidak, maka PBNU akan dicatat oleh sejarah membuka lembaran baru sebagai kekuatan sipil yang mentoleransi dan bahkan mendukung otoritarian dan benih radikalisme, bukankah demikian?
3 Ramadhan
Mukhlas Syarkun, penulis buku Ensklopedi Gus Dur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News