M. Noer, Gubernur Legendaris Jawa Timur

M. Noer, Gubernur Legendaris Jawa Timur Raden Panji Mohmmad Noer. Foto: Tempo

SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Inilah anekdot populer di Jawa Timur:

Suatu ketika, orang Madura ditanya siapa gubernur Jawa Timur.

“Pak Noer,” jawab orang Madura itu dengan bahasa Indonesia yang medok.

“Lho, bukannya Bu Khofiffah?,” tanya si penanya heran.

“O, itu kan penggantinya,” tukas orang Madura itu seolah tanpa beban.

Anekdot itu menunjukkan bahwa nama M. Noer sangat melekat di benak rakyat. Nama Cak Noer atau Pak Noer – panggilan M. Noer - tak pernah hilang. Terutama di hati orang Madura. Yang umumnya lugu dan ceplas-ceplos apa adanya.

Pak Noer memang gubernur Jawa Timur yang sangat legendaris. Itu berkat karakter dan integritasnya sebagai pejabat. Yang selalu memikirkan rakyat. Terutama rakyat kecil.

Salah satu ungkapan populer Pak Noer adalah “Agawe Wong Cilik Melu Gumuyu”. Yang artinya, membuat rakyat kecil ikut tertawa.

Ungkapan itu pernah ia lontarkan di depan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR). Pada Maret 1973.

Ungkapan itu langsung jadi wacana publik. Di tengah pejabat tinggi tak ada yang peduli rakyat, akibat ego sentrinya sendiri-sendiri. Pak Noer menggebrak publik dengan ungkapan populis.

Tak ada tudingan pencitraan. Kenapa? Pertama, saat itu tak ada Pilkada atau Pilpres langsung. Jadi pernyataan itu muncul secara tulus, bukan karena kepentingan Pilkada atau Pilpres.

Hanya saja memang butuh keberanian. Untuk melontarkan wacana ke publik. Maklum, Orde Baru dikenal otoriter dan tiran.

Kedua, Pak Noer melontarkan wacana itu berangkat dari keprihatinan. Terhadap realitas sosial yang ia saksikan.

Pak Noer mengaku sering menatap orang-orang Madura yang bekerja keras. Tapi tak pernah mengalami mobilitas sosial.

Pak Noer mengaku terenyuh ketika tiap hari menyaksikan rombongan perempuan Madura nyo’on barang. Nyo’on adalah bahasa Madura yang artinya meletakkan barang-barang bawaan atau dagangan di atas kepalanya. Mereka nyo’on keranjang dan sebagainya

Sejak itulah ia berangan-angan ingin menghubungkan pulau Madura dengan Surabaya. Dalam benak Pak Noer, jika Madura tak tersambung dengan Surabaya, akan terus terisolir. Terutama secara ekonomi.

Memang, ide jembatan Surabaya-Madura - kini dinamakan jembatan Suramadu – berasal dari Pak Noer. Bahkan keinginan menghubungkan Madura dengan Surabaya itu terbersit sejak ia menjabat Wakil Bupati Bangkalan Madura. Tepatnya pada 1950.

Karena itu ketika Jembatan Suramadu itu selesai dibangun ia mengaku sangat bangga. Pembangunan jembatan yang panjangnya 5.438 meter dan menjadi ikon Jawa Timur itu selesai pada Jumat, 16 April 2010.

Nama Pak Noer pun diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Tambak Wedi Surabaya. Yaitu Jalan Haji Mohamamad Noer. Tambak Wedi adalah daerah menuju Jembatan Suramadu itu.

Pak Noer adalah Gubernur Jawa Timur pada masa bakti 1967 - 1976. Berarti ia menjabat gubernur Jawa Timur selama 9 tahun.

Nama lengkapnya adalah Raden Panji . Pak Noer meniti karier dari bawah sebagai pegawai magang di Kantor Kabupaten Sumenep, Asisten Wedana, Patih, Bupati Kabupaten Bangkalan, Residen, Pejabat Sementara Gubernur Jawa Timur, hingga menjadi Gubernur Jawa Timur.

Dilansir Tempo, Pak Noer selain menjabat gubernur Jawa Timur, juga pernah menjadi anggota MPR RI, dan Duta Besar RI di Prancis. Dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional, ia kerap memperkenalkan Indonesia melalui diplomasi kebudayaan.

Dikutip dari Wikipidea, Pak Noer dilahirkan di Kampung Beler, Desa Rong Tengah, sebuah desa kecil di pinggiran Kabupaten Sampang, Madura. Ia putra ke-7 dari keluarga bangsawan pasangan Raden Aria Condropratikto dan Raden Ayu Siti Nursiah

Pak Noer wafat pada usia 92 tahun. Ia wafat pada 16 April 2010 sekitar pukul 08.50 WIB di Ruang ICU, Rumah Sakit Darmo Surabaya.

Sebelum dimakamkan jenazahnya dishalatkan di tiga masjid. Yaitu Masjid Al Falah Surabaya, Masjid Agung Bangkalan, dan Masjid Agung Sampang. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga Somor Kompah, Sampang Madura.

Pak Noer dikenal sebagai sosok kharismatik. Bahkan saat pensiun pun publik tetap hormat.

Salah satu kegemaran Pak Noer adalah berkunjung ke desa-desa. Ia sadar bahwa rakyatnya bukan hanya miskin tapi juga buta huruf. Karena itu perlu turun langsung ke desa-desa.

Menurut dia, dengan tahu realitas sosial yang sebenarnya, ia bisa memetakan dan memberikan solusi untuk menyelesaikannya.

Saat itu blusukan bukan pencitraan. Karena – sekali lagi – belum ada pemilihan langsung. Baik pemilihan presiden maupun kepala daerah. Pak Noer blusukan murni karena prihatin dan peduli pada rakyat miskin.

Salah satu karakter Pak Noer adalah disiplin soal waktu. Ketika saya awal jadi wartawan saya pernah mengajukan permohonan untuk wawancara. Saat itu Pak Noer sudah pensiun. Tak menjabat di pemerintahan.

Saya janjian pukul 13.00 WIB. Saya datang ke kediaman beliau di Jalan Anwari Surabaya pukul 12.45 WIB. Saya sengaja datang lebih awal dari waktu yang sudah kami sepakati. Saya pikir beliau senang.

Saya dipersilakan masuk ke ruang tamu. Tak lama kemudian Pak Noer keluar. Saya pun menyiapkan notes dan fulpen untuk wawancara.

“Kita janjian jam berapa,” tiba-tiba Pak Noer bertanya.

Dengan rasa percaya diri saya jawab pukul 12.45 WIB.

“Kita janjian jam berapa,” tanya Pak Noer lagi.

“Jam 12.45,” jawab saya.

“Berarti masih kurang 15 menit. Tunggu sampai jam 13.00,” kata Pak Noer. Ia kemudin masuk kembali ke dalam rumahnya.

Saya langsung bengong. Betapa disiplinnya beliau terhadap waktu. (m. mas'ud adnan)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO