BANGSAONLINE.com - Tulisan Nadirsyah Hosen ini dimuat Majalah Gatra no 42 dan beredar 20 Agustus 2015. BANGSAONLINE.com memuat secara utuh agar memberi persepktif kepada pembaca bagaimana Muktamar NU itu berlangsung.
Muktamar Nadhlatul Ulama (NU) gaduh. Muktamar di Jombang pada 1-5 Agustus 2015 itu mengusung tema "Islam Nusantara". Lantas ada yang berseloroh inikah wajah Islam Nusantara itu: gaduh dan ricuh? Kegaduhan itu dimulai dari proses pendaftaran peserta yang kacau-balau. Apalagi sejak awal terkesan panitia memaksakan peserta menyetor sembilan nama calon anggota ahlul halli wal aqdi (AHWA) untuk memilih Rais Am.
Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan
Walhasil, selama perhelatan Muktamar itu tema Islam Nusantara tidak menjadi perhatian dan pembahasan peserta secara khusus. Mereka lebih fokus pada perdebatan menerima atau menolak mekanisme AHWA. Kegaduhan yang kita lihat di Muktamar bukanlah wajah Islam Nusantara, melainkan, sebut saja "Islam AHWA".
Di tengah suasana yang memanas itu saya beruntung bisa bertemu KH A. Mustofa Bisri. Saat itu, ia masih sebagai Pejabat Sementara Rais Am, posisi yang terpaksa beliau terima, sepeninggal KH A. Sahal Mahfud. Gus Mus, sapaan populernya, mengeluhkan perilaku muktamirin yang sudah melenceng dari akhlak mulia yang diajarkan pendiri NU. Namun Gus Mus masih punya harapan akan masa depan NU, khususnya terhadap anak muda NU.
Beliau mengambil contoh Musyawarah Kaum Muda NU di luar program resmi Muktamar, hasil inisiatif anak-anak muda NU yang secara swadaya tanpa bantuan pengusaha dan penguasa melangsungkan perhelatan yang dihadiri Menteri Agama dan kiai sepuh seperti KH Maimoen Zubair. Isu yang dibahas pun jauh lebih susbtantif ketimbang di arena resmi Muktamar. Tidak ada kegaduhan di Musyawarah Kaum Muda NU.
Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU
Saya menambahkan di depan Gus Mus bahwa Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU yang tersebar di 20 negara plus para alumninya yang sudah kembali berkiprah di Tanah Air juga melaksanakan forum bersama di Pesantren Tambak Beras. Para utusan dari Maroko, Prancis, Amerika, Hongkong, Malaysia, sampai Australia memaparkan perkembangan dakwah ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja) di negara-negara tersebut. Merekalah duta besar NU untuk memperkenalkan Islam Nusantara. Tidak ada kericuhan di forum PCI.
"The real" NU yang masih mengusung spirit dan etika para pendiri NU ada pada Musyawarah Kaum Muda NU dan Forum Silaturahmi PCI. Media massa luput melaporkan perkembangan kedua sayap lokal dan internasional NU ini. Pada keduanya, masa depan NU dipertaruhkan.
Ketika saya pancing soal posisi Rais Am, Gus Mus berkisah panjang pada peristiwa ketika Abu Bakar meminta Umar bin khattab menggantikannya sebagai Khalifah. Abu Bakar mengatakan, ''Ada dua orang yang kena laknat, yaitu mereka yang tidak pantas namun menginginkan posisi itu, dan mereka yang pantas namun tidak bersedia tampil.''
Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?
Gus Mus merasa masuk kategori pertama, karena banyak yang lebih pantas dari beliau. Saya merayu beliau untuk tetap bersedia menjadi Rais Am dengan mengingatkan beliau resiko bisa masuk kategori kedua di atas. Beliau tetap tidak mau. Tawadu sekali beliau. Di saat banyak yang rebutan posisi baik di pemerintahan maupun di organisasi kemasyarakatan, Gus Mus mencontohkan teladan mulia kepada kita untuk tahu diri -sikap yang belakangan susah ditemui. Padahal siapa yang tahu dirinya, ia akan tahu Tuhannya.
Gus Mus memang telah menolak menjadi Rais Am meski sembilan anggota AHWA sepakat memilih beliau. Tapi beliau tetap akan menjadi rujukan bagi generasi muda NU di dalam dan di luar negeri. Beliau telah mencontohkan melalui tindakan nyata makna sebuah ketulusan berkhidmat pada umat. Beliaulah sang panutan. Wajah damai dan teduh dari Islam Nusantara menemukan ikonnya di sini.
Namun kegaduhan Muktamar belum selesai. Sebagian utusan wilayah dan cabang menganggap proses persidangan cacat secara prosedural. Saat registrasi tidak semua utusan menyetor sembilan nama calon anggota AHWA. Tapi, anehnya, saat persidangan muncul sembilan nama teratas calon AHWA hasil tabulasi panitia yang dilakukan bukan di depan peserta. Hal ini menimbulkan kecurigaan. Hasil voting tipis yang menyetujui AHWA ditentukan oleh dukungan satu utusan wilayah dan 29 cabang di Papua.
Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya
Bisik-bisik terdengar, bagaimana mungkin NU punya cabang lengkap dengan Rais Syuriahnya di 29 kabupaten Papua. Bahkan saat sidang pleno membahas hasil komisi organisasi yang menyepakati aturan peralihan di dalam AD/ART bahwa mekanisme AHWA baru bisa diterapkan di Muktamar berikutnya, langsung dianulir oleh pimpinan sidang pleno tanpa menunggu persetujuan muktamirin.
Ini seolah mengulangi kejadian sebelumnya ketika laporan pertanggungjawaban pengurus PBNU periode lama diketuk palu tanpa memberikan kesempatan setiap wilayah dan utusan menyampaikan pandangan umumnya terlebih dahulu. Inilah wajah Islam AHWA yang mendominasi selama muktamar.
Tapi sejauh mana kubu KH A. Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid yang merasa dirugikan dengan hal-hal di atas punya stamina yang cukup untuk terus melanjutkan keriuhan pasca-muktamar? Umumnya warga NU sudah merasa capek melihat para kiainya bertengkar. Mereka tidak terlalu peduli dengan perdebatan mekanisme AHWA dan non-AHWA. Nahdliyin itu sejatinya cinta damai dan patuh pada kiai.
Baca Juga: Satu Abad Nahdlatul Ulama, Eri Cahyadi Ingin Surabaya jadi Tuan Rumah Muktamar NU ke-35
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News