Syaiful Bahri.
Oleh: Syaiful Bahri*
Komitmen seorang pemimpin daerah untuk menjunjung tinggi integritas dan menerapkan kebijakan "no fee proyek" adalah langkah yang patut diapresiasi dan menjadi harapan besar masyarakat.
Di Kabupaten Situbondo, semangat yang diusung oleh Bupati Situbondo, Yusuf Rio Wahyu Prayogo atau disapa Mas Rio ini seharusnya menjadi fondasi kuat untuk tata kelola pemerintahan yang bersih dan efisien.
Namun, realitas di lapangan tampaknya menyisakan pekerjaan rumah yang serius, terkait munculnya praktik "pengawalan" atau "pengamanan" proyek oleh oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan wartawan. Ironisnya, praktik ini justru menimbulkan biaya tinggi dan menggerus esensi dari komitmen anti-korupsi tersebut.
Menghindari "Fee" Namun Terjebak "Pengamanan"
Kebijakan "no fee proyek" secara ideal bertujuan memotong mata rantai korupsi dan memastikan dana pembangunan sepenuhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Seharusnya, dengan hilangnya fee birokrasi, harga penawaran proyek lebih kompetitif, dan kualitas pekerjaan dapat ditingkatkan.
Namun, laporan di lapangan menciptakan anomali. Istilah "pengamanan" seringkali merujuk pada upaya kontraktor untuk mencegah kritik, intimidasi, atau pelaporan negatif dari oknum LSM/wartawan. Biaya yang dikeluarkan untuk "pengamanan" ini terbilang tinggi, bahkan disinyalir setara atau melebihi persentase fee yang coba dihilangkan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun fee formal (untuk birokrasi) berhasil dihilangkan, tekanan informal (dari eksternal) untuk mendapatkan bagian dari kue proyek tetap eksis dan bahkan berevolusi menjadi bentuk baru. Ini bukan hanya membebani kontraktor dan proyek, tetapi juga merusak iklim transparansi yang seharusnya dibangun.
Kegagalan Kolektif: Sikap "Lepas Tangan" Dinas Terkait
Persoalan ini menjadi semakin pelik ketika dinas terkait terkesan lepas tangan atau membiarkan praktik "pengamanan" ini terjadi. Sikap apatis atau pembiaran dari organisasi perangkat daerah (OPD) menunjukkan kelemahan implementasi. OPD seolah menganggap biaya "pengamanan" ini sebagai cost of doing business yang diserahkan sepenuhnya kepada kontraktor.
Sikap "lepas tangan" ini adalah kegagalan kolektif. Komitmen integritas bupati tidak akan pernah berhasil jika tingkat implementasi di bawahnya tidak berani atau tidak mau menjamin keamanan dan kelancaran pekerjaan tanpa intervensi pihak luar yang tidak memiliki kepentingan fungsional terhadap proyek.
OPD seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi proyek dari segala bentuk gangguan non-teknis, bukan malah menyerahkan tanggung jawab pengamanan kepada kontraktor.
Memutus Rantai Pemerasan: Keterlibatan APH dan Organisasi Profesi
Kasus Situbondo adalah manifestasi lokal dari masalah nasional, di mana komitmen anti-korupsi di tingkat kebijakan belum didukung oleh keberanian dan mekanisme perlindungan yang kuat di tingkat pelaksana.
Komitmen integritas tidak akan berjalan tanpa adanya kepastian hukum dan pengawasan etika yang tegas. Selama ini, kontraktor lebih memilih membayar "uang pengamanan" karena mekanisme pelaporan dianggap lambat dan tidak menjamin perlindungan.
Oleh karena itu, Bupati Situbondo, sebagai pemegang kendali kebijakan, harus segera menginstruksikan kerja sama formal dengan aparat penegak hukum (APH), baik Kepolisian maupun Kejaksaan.
Keterlibatan APH di sini adalah untuk membentuk satuan tugas khusus anti-pemerasan yang siap menerima laporan dan menindaklanjuti secara cepat setiap upaya intimidasi atau pemerasan berkedok kontrol sosial. Atau Bupati memaksimalkan kinerja satgas yang dikukuhkannya beberapa waktu lalu, yaitu Satuan Tugas (Satgas) Terpadu Penanganan dan Pembinaan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Terafiliasi Kegiatan Premanisme.
Selain itu, penting bagi pemerintah daerah untuk secara terbuka berkoordinasi dengan organisasi profesi pers yang kredibel (seperti PWI, IWO) dan LSM pengawasan yang memiliki rekam jejak yang jelas.
Organisasi-organisasi ini memiliki mekanisme Dewan Kehormatan untuk menindak anggotanya yang menyalahgunakan profesi. Dengan langkah ini, masyarakat dan kontraktor dapat membedakan, mana kritik konstruktif yang bertujuan memperbaiki, dan mana pemerasan yang bertujuan memperkaya diri.
Penutup: Mengembalikan Integritas Sejati
Jika biaya pembangunan masih terbebani oleh pungutan liar berkedok "pengamanan," maka yang terjadi hanyalah pergantian operator pemungut, bukan penghapusan korupsi. Bupati Situbondo harus segera turun tangan memastikan dinas terkait, tidak lagi "lepas tangan," dan bahwa proyek pembangunan benar-benar bebas dari segala bentuk intervensi berbiaya tinggi. Inilah kunci untuk mengembalikan integritas sejati.
*Penulis adalah Wartawan HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com












