Geger Terjemah Al-Maidah, dari Pemimpin Berubah Teman Setia, Ini Penjelasan Kemenag

Geger Terjemah Al-Maidah, dari Pemimpin Berubah Teman Setia, Ini Penjelasan Kemenag Pgs. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran (LPMQ) Muchlis M Hanafi. (foto: LPMQ). foto: kemenag

Tentu tidak seluruh makna Al-Quran terangkut dalam karya terjemahan, sebab Al-Quran dikenal kaya kosa kata dan makna. Seringkali, ungkapan katanya singkat tapi maknanya padat. Oleh sebab itu, wajar terjadi perbedaan antara sebuah karya terjemahan dengan terjemahan lainnya, paparnya.

Terkait kata atau kalimat dalam Al-Quran yang menyedot perhatian masyarakat dan berpotensi menimbulkan perdebatan, menyerahkan kepada para ulama Al-Quran untuk kembali membahas dan mendiskusikannya.

Saat ini, sebuah tim yang terdiri dari para ulama Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman serta pakar bahasa Indonesia dari Badan Bahasa Kemendikbud, sedang bekerja menelaah terjemahan Al-Quran dari berbagai aspeknya.

Mereka itu, antara lain: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. Huzaimah T Yanggo, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Dr. KH. A. Malik Madani, Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, Dr. Muchlis M Hanafi, Prof. Dr. Rosehan Anwar, Dr. Abdul Ghofur Maemun, Dr. Amir Faesal Fath, Dr. Abbas Mansur Tamam, Dr. Umi Husnul Khotimah, Dr. Abdul Ghaffar Ruskhan, Dr. Dora Amalia, Dr. Sriyanto, dan lainnya.

Teks Al-Quran, seperti kata Sayyiduna Ali, hammalun dzu wujuh, mengandung aneka ragam penafsiran. ”Oleh karena itu, Kementerian Agama berharap umat Islam menghormati keragaman pemahaman keagamaan,” urainya.

Menurut Muchlis, terbitan terjemah Al-Quran dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk memahami isi kandungan ayat suci. Namun, ia mengingatkan, dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, hendaknya tidak hanya mengandalkan terjemahan, tetapi juga melalui penjelasan ulama dalam kitab-kitab tafsir dan lainnya.

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr KH Cholil Nafis, menyatakan, perbedaan pendapat dalam koridor pemaknaan Al-Quran menurut tafsir Alquran para ulama salaf Awliya bisa bermakna teman setia, penolong, atau pemimpin.

''Kalau teman dekat dan penolong saja tak boleh, apalagi sebagai pemimpin. Teman dekat yang setia itu karena akan tahu rahasia Muslim, penolong itu karena kekuatannya. Dengan demikian, maka pemimpin pasti lebih dilarang,'' ungkap Cholil Nafis kepada Republika.co.id, Ahad (23/10).

Bahkan pemimpin seperti gubernur adalah orang yang bisa membuat peraturan daerah untuk mengatur umat Islam dan RAPBD yang bisa menolong atau mencelakakan umat Islam. Itu semua lebih dari teman setia dan penolong.

Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang MS Kaban juga berkomentar sama. Dalam akun twitter @hmskaban, mantan Menteri Kehutanan itu menuliskan, jika menjadi teman setia saja tidak boleh apalagi jika umat muslim menjadikan orang nonmuslim sebagai pemimpin.
"Konon perubahan terjemah almaidah 51.PEMIMPIN JD TEMAN SETIA.LHA JADI TEMAN SETIA GAK BOLEH APALAGI JD PEMIMPIN.AKHLI TRRJEMAH LURUSKANLAH..," tulisnya. (tim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO