SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Suksesi kepemimpinan di Kota Surabaya semakin dekat. Agenda demokrasi yang digelar 5 tahun sekali itu menjadi pusat perhatian publik. Sejatinya ada 19 pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar di Jawa Timur tahun depan. Namun status Kota Surabaya sebagai ibu kota provinsi Jatim membuat pilkada di kota pahlawan menjadi magnet yang luar biasa.
Hadi Mulyo Utomo, Ketua Forum Reformasi Jawa Timur (ForJatim) menilai Pilkada Surabaya bukan hanya menjadi perhatian publik di regional Jawa Timur. Tetapi perhatian publik secara nasional. Hal itu tak lepas dari posisi Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta. Terlebih prestasi wali kota saat ini yang mendunia membuat orang penasaran siapa figur pengganti Risma.
Baca Juga: Bawaslu Kota Surabaya Serahkan Laporan Hasil Pengawasan Pilkada 2020 ke Pemkot dan DPRD
Tak heran belakangan kian banyak spekulasi dan prediksi tentang siapa tokoh atau figur yang akan berkontestasi mencalonkan diri menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya. Namun, ia berharap pilkada tidak menjadi ajang demokrasi nepotisme.
"Saya berharap pilkada di tahun 2020 nanti bukan ajang bagi demokrasi nepotisme. Tetapi ajang bagi anak bangsa untuk membangun daerah dengan modal politik, kualitas, dan integritas," tegas penasihat hukum Khofifah-Emil pada Pilgub 2018 itu, Senin (7/1).
Salah satu orang dekat Khofifah ini mengakui, terkait dengan bursa Pilwali Kota Surabaya yang akan digelar tahun 2020 tak lepas dari spekulasi dan klaim. Klaim itu menyasar tokoh, elit, dan politikus senior. Satu di antaranya Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jatim terpilih periode 2019-2024.
Baca Juga: Dilantik Besok Sore, Ini Harapan Warga Surabaya kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Baru
Entah bagaimana kebenaran dan kesahihan dinamika dukungan tersebut. Apakah dukungan tersebut riil atau hanya klaim sepihak dari pihak-pihak tertentu untuk kemanfaatan menaikkan popularitas dan citra positif figur tertentu.
Alumni terbaik Fakultas Hukum pasca sarjana Unair tahun 2012 ini mengungkapkan, terlepas daripada itu semua, qarga Kota Surabaya meyakini bahwa menjadi pemimpin Kota Surabaya tidak bisa dilakukan dengan bermodal siapa lebih dekat dengan siapa, sehingga dia mendapatkan dukungan dari siapa.
"Surabaya itu kota dengan sederet kemajuan, prestasi, dan nilai strategis. Berikut dengan kompleksitas, problematika perkotaaannya. Karena itu harus dipimpin oleh orang mempunyai kompetensi yang berkualitas dan riwayat kepemimpinan yang sudah teruji. Bukan figur yang hanya mengandalkan nepotisme," ujar Hadi.
Baca Juga: Pascapilkada, Jaman Jatim Evaluasi Pembekuan Jaman Surabaya
Alumni aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini meyakini warga Surabaya juga pasti berharap tokoh-tokoh senior politik baik kancah nasional atau daerah juga dapat memperkaya wawasan serta melakukan edukasi politik kepada masyarakat Surabaya. Hal itu dalam koridor memberikan kriteria pemimpin yang ideal bagi keberlanjutan roda pemerintahan di Surabaya. Salah satunya integritas moral yang sudah terbukti baik.
"Manifestasi prinsip demokrasi dalam Pilwali Kota Surabaya adalah kemampuan memfilterisasi (menyaring) dan mencetak pemimpin masa depan kota pahlawan yang berkualitas dan berintegritas. Bukan orang-orang yang hanya memanfaatkan momentum kesempatan politik alias aji mumpung dekat dengan pemangku kekuasaan," papar mantan staf pengajar Fakultas Hukum di Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut.
Untuk diketahui, sejumlah nama calon kandidat wali kota dan calon wakil wali kota Surabaya mulai bermunculan. Mereka di antaranya Fandi Utomo (PKB), Adies Kadir (Golkar), Whisnu Sakti Buana (PDIP/Wawali Surabaya), Bayu Airlangga (Demokrat/menantu Pakde Karwo), Moh Nur Arifin (KNPI Jatim/Wabup Trenggalek), Moh Abid Umar Faruq (GP Ansor), Ipong Muchlissoni (NasDem), Gus Hans (Golkar/Darul Ulum), Ari Kusuma (Koordinator Relawan Khofifah). (mdr/ian)
Baca Juga: Soal PHP Pilwali Surabaya, Bawaslu: Kami Hadir Memenuhi Undangan MK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News