Ahok dan Mobilitas Vertikal Politik Etnis Tionghoa

Ahok dan Mobilitas Vertikal Politik Etnis Tionghoa M. Mas'ud Adnan

Menjelang Pemilu 1999 komunitas Tionghoa sempat mendirikan tiga partai politik. Yaitu Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) yang dipandegani pengusaha Yusuf Hamka, Yunus Yahya, Ramli Salim dan pemain bulu tangkis H Verawaty Fajrin. Parpindo bahkan menempatkan Dahlan Iskan sebagai Dewan Penasehat. Lalu Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) yang didirikan Gunawan Tjahjadi, Lius Sungkharisma, Cecep Adi saputra dan tokoh etnis Tionghoa lainnya. Kemudian Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI) yang dipimpin Nurdin Purnomo (Wu Nengbin), pengusaha travel dan Ketua Yayasan Hakka. 

Namun partai-partai etnis Tionghoa itu kandas di tengah jalan. Parpindo tak mendapat sambutan masyarakat. PARTI gagal mengikuti seleksi KPU. Hanya PBI yang ikut dalam Pemilu. Cuma perolehan suaranya kecil, dapat satu anggota DPR dari Kalimantan Barat, yaitu L.T. Susanto. 

Para elit etnis Tionghoa kemudian masuk ke partai-partai yang sudah eksis. Mereka masuk ke berbagai partai. Dalam sepuluh tahun terakhir ini – terutama pada pemilu 2014 - banyak sekali etnis Tionghoa yang masuk ke berbagai parpol dan tampil ke pentas politik nasional. Kalau tahun-tahun sebelumnya hanya Kwik Gian Gie, Mar’i Eka Pangestu dan Alvin Lie, yang tampil dalam politik, pada sepuluh tahun terakhir ini muncul Hary Tanoesoedibjo (Nasdem, kemudian pindah ke Hanura), Rusdi Kirana (PKB), Ratnawati Wijana, Hartarti Murdaya (Chow Lie Ing, Partai Demokrat), dan masih banyak lagi etnis Tionghoa di PDIP, Golkar dan partai lain, baik yang jadi anggota DPR, DPRD maupun kepala daerah di berbagai wilayah. 

Namun dari sekian tokoh etnis Tionghoa yang karier politiknya paling moncer adalah Ahok. Bahkan Ahok kini jadi idola politik baru yang jadi rebutan parpol. Buktinya, ketika dia keluar dari Partai Gerindra, semua partai barisan Jokowi-JK dalam pilpres lalu siap menampung, terutama sebagai pengurus. PDIP, PKB, Hanura dan Nasdem, mewarkan diri sebagai wadah kiprah politik Ahok ke depan. Ini berarti Ahok telah menjadi genre baru politik Indonesia.

Gegap gempita politik Ahok ini seolah menjadi indikator mobilitas vertikal politik etnis Tionghoa di Indonesia. Apalagi secara umum kiprah politik etnis Tionghoa di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan ke depan tampaknya akan makin kencang mengingat etnis Tionghoa punya potensi ekonomi luar biasa.

Konon, dari sekian penyumbang dana partai politik selama ini, pengusaha etnis Tionghoa inilah yang paling banyak kontribusinya. Maklum, mereka menguasai perekonomian Indonesia. Dari berbagai sumber disebutkan, meski pada 2014 populasi etnis Tionghoa cuma 5 % (12 juta jiwa) tapi mereka menguasai 80 % lebih perekonomian Indonesia. Ini terjadi berkat penerapan praktik pasar neo liberalism dan free fight competition. 

Jadi, sekali lagi, kencangnya mobilitas vertikal politik etnis Tionghoa, selain karena faktor keterbukaan politik yang makin kondusif juga karena faktor penguasaan ekonomi yang sudah berlangsung puluhan tahun di Indonesia. Memang, dalam kultur perpolitikan kita, ekonomi dan politik ibarat gula dan manisnya atau garam dan asinnya. Sulit dipisahkan. Maka tak heran kalau dalam pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilukada dan pilpres sering muncul ungkapan, wani piro? Jadi, dalam kultur politik di Indonesia sumber daya ekonomi bagian paling vital dan penting. Wallahua’lam bisshawab. (Tulisan ini pernah dimuat Jawa Pos)

M Mas’ud Adnan, Direktur HARIAN BANGSA, alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarja Unair (mmasudadnan@yahoo.com)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO