Bahaya Laten Radikal Kanan dan Radikal Kiri

Bahaya Laten Radikal Kanan dan Radikal Kiri Firman Syah Ali. foto: ist/ bangsaonline.com

Oleh: Firman Syah Ali

SEJARAH AWAL

Baca Juga: Polda Jatim Kolaborasi dengan Ponpes Wali Barokah Bentengi Santri dari Pengaruh Radikalisme

Pada saat Belanda menginjakkan kakinya di Hindia Timur, terdapat banyak negara berdaulat pecahan negara Majapahit di kepulauan zamrud khatulistiwa tersebut. Diantara negara yang eksis pada saat itu adalah Negara Mataram, Negara Cirebon, Negara Banten, Negara Aceh, Negara Riau-Lingga, Negara Banjar, Negara Palembang Darussalam, Negara Pagaruyung, Negara Barus, Negara Jambi, Negara Larantuka, Bangka-Belitung Inggris, Malaka Inggris, Bengkulu Inggris, Negara Ternate, Negara Tidore, Negara Asahan, Negara Pontianak, Negara Kubu, Negara Bacan, Negara Bima, Negara Bolaang Mongondow, Negara Bone, Negara Tanah Bumbu, Negara Badung, Negara Buton, Negara Siak, Negara Deli, Negara Gowa, Negara Berau, Negara Hitu, Negara Buton, Negara Inderapura, Negara Indragiri, Negara Gorontalo dan lain-lain.

Negara-negara tersebut mayoritas merupakan negara teokrasi atau negara agama yang berbentuk monarki. Pada tahun 1800, Negara Belanda membentuk negara koloni Hindia Timur yang mereka beri nama Hindia Belanda. Dengan terbentuknya Hindia Belanda, maka negara-negara agama tersebut banyak yang bubar dan dilebur ke dalam sistem pemerintahan Hindia-Belanda yang terdiri dari tiga Gubernemen, yaitu Groote Oost, Gubernemen Borneo dan Gubernemen Sumatra, dan tiga Provinsi yang secara khusus hanya ada di Jawa. Provinsi dan Gubernemen dibagi lagi menjadi Karesidenan. Untuk Karesidenan di bawah Provinsi langsung dibagi menjadi Regentschappen, sedangkan Karesidenan di bawah Gubernemen dibagi menjadi Afdeling terlebih dahulu sebelum dibagi menjadi Regentschappen.

Sejak tahun 1800 hanya ada satu negara yaitu Hindia-Belanda sebagai koloni dari Negara Belanda. Kebulatan wilayah negara ini terus belanjut hingga tahun 1942, saat Jepang mengambil alih Hindia-Belanda. Pada tahun 1945 Kekaisaran Jepang mempersiapkan kemerdekaan Hindia-Timur yang waktu itu sudah mempopulerkan diri dengan nama Indonesia. Dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia tersebut, Kekaisaran Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Baca Juga: Densus 88 Gelar Sosialisasi Kebangsaan di Lamongan

PEMBENTUKAN NEGARA NASIONAL

Karena negara-negara agama sudah lama bubar dan melebur ke dalam negara Hindia-Belanda, maka BPUPKI dan PPKI tidak kesulitan untuk menyepakati berdirinya Negara Nasional berbentuk Republik dan bersistem demokrasi. Sempat terjadi perdebatan sengit antara kelompok pendukung negara agama dengan kelompok pendukung negara nasional, namun tetap saja para pendukung negara nasional yang berhasil menguasai forum.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 terbentuklah Negara Republik Indonesia yang mewarisi wilayah dan struktur pemerintahan Hindia-Belanda. Tidak ada lagi Negara Banten, Negara Cirebon, Negara Tidore, Negara Ternate dll, hanya ada satu negara yaitu Republik Indonesia. Pemimpinnya bukan Sultan, tapi Presiden. Suka atau tidak suka, harus kita akui bahwa keutuhan kembali wilayah bekas Majapahit ini tidak lepas dari jasa Kerajaan Belanda, yang berhasil mempersatukan kembali eks Negara Majapahit ke dalam suatu negara baru bernama Hindia Belanda.

Baca Juga: Ghibah Politik Ramadhan: Menyoal PBNU tentang Politik Dinasti dan Misi Gus Dur

KETIDAKPUASAN KELOMPOK PENDUKUNG NEGARA AGAMA

Perdebatan di dalam tubuh BPUPKI dan PPKI rupanya tidak selesai sampai di sini, kelompok pendukung negara agama berkali-kali melakukan manuver, intrik bahkan pemberontakan terhadap Republik Indonesia. Para pendukung negara agama tentu saja mempermasalahkan Republik Indonesia Pancasila. Mereka ingin negara warisan Hindia-Belanda ini berdasarkan kitab suci salah satu agama, karena sebelum Belanda menjajah Kepulauan Hindia-Timur, di wilayah ini telah berdiri banyak negara agama yang nya adalah kitab suci salah satu agama.

KELOMPOK KOMUNIS JUGA MENOLAK NEGARA NASIONAL

Baca Juga: Cegah Ajaran Radikalisme Melalui Medsos, Polresta Sidoarjo Perkuat Barisan Netizen

Walaupun perdebatan yang menonjol dalam tubuh BPUPKI dan PPKI adalah perdebatan antara kelompok pendukung negara nasional dengan kelompok pendukung negara agama, namun ada satu elemen lagi yang selama ini sering membuat repot Pemerintah Hindia Belanda. Mereka adalah kaum komunis.

Sebagaimana para pendukung negara agama yang tidak pernah ikhlas bernaung di bawah negara nasional, kaum komunis juga bercita-cita membentuk negara komunis Indonesia sebagai bagian dari Komunis Internasional. Kaum komunis juga melakukan banyak manuver, intrik, sabotase bahkan pemberontakan terhadap Republik Indonesia, namun selalu berhasil ditumpas.

RAKA DAN RAKI

Baca Juga: MUI Pasuruan Keberatan dengan Usulan BNPT yang akan Awasi Masjid untuk Cegah Radikalisme

Karena kelompok pendukung negara agama dan pendukung negara komunis sama-sama suka melakukan cara-cara radikal serta ekstrim dalam mencapai tujuannya, maka kedua kelompok ini disebut kelompok ekstrim. Kelompok pendukung negara agama disebut ekstrim kanan atau radikal kanan disingkat Raka, sedangkan kelompok pendukung negara komunis disebut ekstrim kiri atau radikal kiri disingkat Raki.

Kebangkrutan komunisme internasional yang ditandai dengan bubarnya Uni Sovyet menyebabkan kelompok-kelompok komunis di berbagai negara tidak laku. Saat ini negara Komunis di dunia hanya tersisa RRC, Korea Utara, Kuba, Vietnam dan Laos. Kelompok komunis di negara lain sudah lenyap, baik melalui tragedi maupun murni lenyap karena tidak laku.

SAMA-SAMA BERBAHAYA

Baca Juga: Cegah Radikalisme, BNPT dan FKPT Jatim Gelar Kenduri Desa Damai

Kelompok komunis Indonesia termasuk kelompok komunis yang berbahaya karena pernah terlibat dalam banyak tragedi berdarah yang menyisakan dendam sejarah berkepanjangan. Bahaya laten komunisme Indonesia bukan sekedar bahaya laten bidang ideologi dan politik, namun juga bahaya laten psikologis karena masih tertanam trauma dan dendam yang terus berlangsung hingga saat ini.

Negara agama pernah menjadi sistem kenegaraan sebagian besar penduduk Hindia Timur sebelum kedatangan bangsa eropa. Kelompok pendukung kembalinya negara agama masih eksis hingga saat ini, baik yang pura-pura menjadi bagian dari Republik Indonesia maupun yang terang-terangan menolak Republik Indonesia.

Kelompok Komunis Indonesia pernah menjadi salah satu kelompok komunis terbesar di dunia dan menyisakan tragedi-tragedi besar juga, maka wajar saja kalau mayoritas bangsa Indonesia masih takut dengan hantu komunisme.

Baca Juga: Tangkal Radikalisme, Bakesbangpol Jatim Edukasi Lembaga Pendidikan

Karena kedua kubu radikal ini, baik radikal kanan (pendukung negara agama) maupun radikal kiri (pendukung negara komunis) sama-sama membahayakan perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia, maka wajar jika keduanya dianggap sebagai bahaya laten.

INDONESIA NEGARA BERKETUHANAN

Meminjam istilah Menko Polhukam Mahfud MD, Republik Indonesia bukan negara agama tapi negara beragama. Sebagai negara beragama maka Indonesia sekaligus merupakan negara berketuhanan. Bajunya negara nasional, tapi rohani dan jasmaninya agamis. Agama adalah nafas Negara Republik Indonesia.

Baca Juga: Kemenag Pamekasan Gelar Moderasi Beragama, Densus 88 Minta Masyarakat Waspada dan Hati-hati

Karena agama jelas-jelas menjadi nafas Republik Indonesia, maka Organisasi Massa terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, menyatakan NKRI Final.

NKRI final berarti tidak ada opsi negara agama maupun negara komunis, saat ini kita hidup di dalam negara agamis. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa mencurahkan kasih sayang-Nya kepada bangsa dan negara kita tercinta.

*) Penulis adalah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama dan Ikatan Alumni PMII Jawa Timur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO