JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Indonesia mulai berubah. Tak lagi ramah. Lihat saja media sosial. Penuh caci maki dan rasis. Budi luhur, akhlak mulia, dan terpuji sudah dicampakkan. Dibuang jauh ke comberan.
Sejak kapan? Sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Tahun 2012. Yang diikuti banyak pasangan calon gubernur. Mereka adalah calon petahana Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (diusung Demokrat, PAN, Hanura, PKB, PBB, PKNU, dan PMB).
Baca Juga: Polda Jatim Kolaborasi dengan Ponpes Wali Barokah Bentengi Santri dari Pengaruh Radikalisme
Lalu Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) (diusung PDIP dan Gerindra). Kemudian Hidayat Nur Wahid- Didik J Rachbini (diusung PKS), dan Alex Noerdin-Nono Sampono (diusung Golkar, PPP, PDS Patriot dan sejumlah partai kecil lainnya).
Bahkan ada dua nama pasangan calon independen. Yaitu Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria dan Faisal Basri-Biem Triani Benjamin.
Pada Pilkada 2012 inilah buzzer mulai berkecamuk. Seorang wartawati media paling besar dan berpengaruh di Jakarta terang-terangan kepada saya mengaku mendukung Jokowi-Ahok.
Baca Juga: Densus 88 Gelar Sosialisasi Kebangsaan di Lamongan
“Ahok jadi media darling saya,” kata wartawati itu dengan bangga. Itu ia ucapkan setelah Jokowi-Ahok menang.
Sejak itulah buzzer terus bergerilya. Semula masih wajar. Fokus memuji tokoh pujaannya. Tapi lama-lama semakin kasar. Bahkan kurang ajar.
Kali ini mereka bukan hanya saling caci soal tokoh. Tapi menghujat agama. Kelompok Kristen ekstrem menghujat Nabi Muhammad SAW. Mereka mengolol-olok Nabi Muhammad peldofil.
Baca Juga: Cegah Ajaran Radikalisme Melalui Medsos, Polresta Sidoarjo Perkuat Barisan Netizen
Hujatan itu semakin kasar dan vulgar. Menyerang al-Quran, kitab suci umat Islam. Fakta dan contoh paling mutakhir adalah sikap ekstrem dan radikal yang dipertontonkan pendeta Saifuddin Ibrahim dan M Kace. Atau tokoh etnis Tonghoa rasis dan intoleran Jozeph Paul Zhang.
Kelompok Islam pun panas. Tersinggung. Mereka membalas. Menyerang Yesus. “Yesus tuhan katok kolor. Porno,” tulis mereka.
Islam radikal pun keluar. Mereka menyerang kelompok Kristen. Terjadilah caci maki. Tak pernah henti.
Baca Juga: Cegah Radikalisme, BNPT dan FKPT Jatim Gelar Kenduri Desa Damai
Di antara kelompok Islam radikal itu tercatat nama Ustadz Yahya Waloni dan yang lain. Namun berbeda dengan kelompok Kristen yang membela Pendeta Saifuddin Ibrahim dan M Kace, tokoh-tokoh Islam justru mempersoalkan Waloni.
(Yahya Waloni dalam tangkapan layar hadits tv)
Baca Juga: Prof Siti Zuhro: Intoleransi Datang dari Elite
KH Cholil Nafis, tokoh NU, misalnya, mengeritik keras Waloni. Menurut Ketua MUI itu, Waloni tak mewakili umat Islam karena paham dan ilmu keagamaannya jauh dari memadai. Bahkan, menurut Cholil Nafis, Waloni belum layak jadi ustadz. Ia hanya seorang mu’allaf yang baru masuk Islam dan masih perlu belajar tentang Islam yang sebenarnya.
Yang tak kalah kasar dan brutal adalah buzzer intoleran etnis Tonghoa. Mereka bukan hanya membabi buta membela Tiongkok. Tapi juga menyerang pribumi muslim dan etnis Arab. Siapa saja yang mengeritik Tiongkok – terutama Presiden China XI Jinping - pasti dicaci maki, meski kadang cacian mereka tak rasional dan menggelikan.
Mereka lupa bahwa Presiden Republik Indonesia adalah Joko Widodo, bukan Jinping. Tapi mereka tak mau tahu. Siapapun yang mengeritik Tiongkok, sikap brutal mereka di medsos langsung keluar. Bahkan orang yang obyektif dan toleran pun mereka hujat jika mengeritik Jinping atau China.
Baca Juga: Kepala BNPT Ajak Mahasantri di Ponpes Lirboyo Kediri Jauhi Sikap Intoleransi
Padahal buzzer etnis Tionghoa ekstrem itu sebenarnya pembela dan pendukung Jokowi. Tapi ternyata mereka lebih menomorsatukan Jinping, yang nota bene Sekretaris Jenderal Partai Komunis, ketimbang Jokowi.
Tampaknya watak asli mereka memang mendua, meski mengaku warga Indonesia . Pada satu sisi mengaku warga Indonesia, tapi pada sisi lain merasa sebagai warga asli China atau Tiongkok.
Sikap ini mengingatkan kita pada pernyataan konglomerat Sukanto Tanoto yang popular sebagai Raja Garuda Emas (RGE).
Baca Juga: Cegah Radikalisme di Kalangan Pelajar, Kejari Nganjuk Gelar Diskusi Panel Bersama Ratusan Siswa
“Saya lahir dan besar di Indonesia. Menempuh pendidikan, menikah dan memulai bisnis juga di sana. Tetapi Indonesia adalah ayah angkat bagi saya, karena itu ketika pulang ke Cina saya merasa menemukan ayah kandung. Itu karena saya masih merasa orang Cina,” kata Sukanto Tanoto saat tampil sebagai narasumber dalam acara di televisi China, CCTV2.
Rakyat Indonesia pun geger. Mereka menganggap RGE hidup di Indonesia hanya menghisap kekayaan bangsa Indonesia.
Akhirnya RGE mengirim rilis klarifikasi. RGE mengklaim bahwa terjemahan wawancara itu tidak sesuai dengan tujuan dan maksud yang tersirat dari pernyataan Sukanto Tanoto.
Baca Juga: IKUB Kota Kediri Meningkat Jadi 3,97, Bukti Tagline 'Harmoni Kediri' Teraktualisasi
“Dalam wawancara tahun 2011 berdurasi 55:29 menit yang beredar di media sosial, Bapak Sukanto Tanoto menjelaskan latar belakang serta filosofi bisnis beliau. Kutipan artikel di forum Indonesiana, serta terjemahan salah satu bagian video yang beredar, tidaklah sesuai dengan tujuan dan maksud yang tersirat sehingga telah menimbulkan penafsiran yang berbeda,” tulis RGE.
Mana yang benar? Kita serahkan kepada rakyat Indonesia.
Yang pasti, pertarungan ekstremis Kristen, Islam radikal dan etnis Tinghoa intoleran bukan hanya pertarungan politik tapi juga ideologi dan etnis yang rasis.
Yang menarik, para ekstremis dan radikalis serta intoleran Tionghoa itu menyimbolisasikan diri sebagai binatang. Mereka menyebut lawan politiknya sebagai cebong, kadal gurun (Kadrun) dan juga kampret. Berarti mereka memang sama sekali tak punya hati nurani dan perikemanusiaan. Bahkan bisa jadi mereka justru anti kemanusiaan. Buktinya, mereka mengidentikkan diri dengan binatang. Bukan manusia.
(Inilah satu meme kasar yang diaambil dari saudinesia.com. Dalam caption saudinesia.com tertulis: Foto diambil dari media anti Arab (dibaca anti sunnah)
Fenomena ini tentu harus menjadi kajian penting bagi para elit Indonesia. Kenapa mereka begitu bengis tidak berprikemanusiaan. Padahal, nenek moyang bangsa Indonesia dikenal santun, luhur, ramah, dan religius. Apa benar sikap ekstrem, radikal, dan intoleran itu karena banyaknya manusia-manusia “impor” yang membawa paham berbeda bahkan paham tak bertuhan, sehingga peradaban bangsa Indonesia mulai berubah?
Pemerintah – lewat Kementerian Kominfo – harus bisa menjawab dan menyetop gejala rusaknya peradaban ini. Bukankah semua ini bermuara dari media sosial yang nota bene tanggung jawab kementerian Kominfo?
Para tokoh agama juga harus bertanggungjawab atas rusaknya budi luhur, akhlak mulia dan peradaban bangsa ini. Bukankah fenomena kerusakan peradaban ini akibat rusaknya budi luhur, akhlak dan – yang paling inti - makin tercerabutnya nilai-nilai agama dari kehidupan bangsa kita?
Kita berharap tokoh Islam, Kristen, dan tokoh etnis Tionghoa yang moderat berkumpul mendiskusikan kerusakan ekosistem peradadaban bangsa ini. Kita harus menyetop dan mencari jalan kaluar dari sikap ekstrem dan radikal serta intoleran yang melanda sebagian masyarakat kita.
Jika tidak, maka polarisasi solial politik akan terus menganga dan yang rugi kita semua, bangsa Indonesia. (MMA)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News