Oleh: Suparto Wijoyo*
TULISAN ini kubuat dalam dharma pembaca Sumamburat dengan telisik ke wilayah para pengabdi yang mendedikasikan hayatnya bagi lingkungan. Mereka bergerombol membentuk formasi alamiahmenyelenggarakan Ruwat Agung memperingati Hari Air Sedunia, 22 Maret 2018 dengan unggahan tema: Solusi Air Berbasis Alam. Senyum khalayak yang rela mambasuhkan diri dalam rintik hujan yang tertangkap sorot mata dalam perjalanan 24-25 Maret 2018 ke Baturaden, Purwokerto, pun membuncahkan gairah betapa negeri ini dikarunia rahmat yang tidak terkira. Sawah ladang menghijau dan menguningnya padi menyampaikan pesan iman betapa “tanah surga” ini terhampar dalam kelokan sungai-sungai nan gunung-gunung yang memperkokoh diri penuh kelembutan, selembut literasi calon-calon pemimpin birokrasi yang berinovasi untuk melayani di Badan Diklat Provinsi Jatim pada 23 Maret 2018. Ajakan memberi yang terbaik kepada publik adalah pilihan yang menyandarkan diri atas kedaulatan yang dibopong selama ini.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Dalam renung teologia, semua itu mengingatkanku pada Q.S. Ar-Rahman: “Maka nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan?”. Sebuah firman yang menghentak dan mendekap tauhid yang acap kali tidak terjamah, hingga lepas menanarkan pandangan betapa manusia banyak berbuat ingkar terhadap tatanan Allah. Putaran Galaksi Bima Sakti yang menampung beragam planet yang berpayung langit-langit yang dipendaribintang gemintang, tampaknya dianggap biasa-biasa saja, dikiranya sebekarkas labirian semesta yang tak perlumenyentuh lubuk terindah manusia. Kerusakan eksosistem dan kehancuran areal pertambangan yang sering terwartakan besar-besaradalah secuil kisah yang sering diulang sebagai lumrah. Laku korupsi dan manipulasi sejenis gerakan ngapusi yang lahir dari “prosedur demokrasi” pilkada pun, merupakan bukti betapa kemungkaran itu dipentaskan.
Dalam situasi hiruk pikuk pilkada yang genderangnya terkadang hanya sayup-sayup terdengar, walau ada yang menghentak tidak beraturan dengan OTT yang dihadirkan KPK, ada “jalan lain” yang ditempuh kaum rimbawan. “Civitas akademika” Perhutani ini menatakan diri dalam penamaan apapun yang terpenting adalah ikrar janji setia “berbakti kepada NKRI”. Acungan jemari dan kepalan tangan serta teriakan yang menggelagar dari mereka amatlah saya pahami betapa kerinduannya amatlah tidak tertahankan. Kaum rimbawan kini sedang menempuh “takdirnya” untuk menyepi di tengah belantara “kawasan hutan” yang selama ini dikukuhi atas nama mandat dari negara.
Setumpuk regulasi sejak munculnya UUPA tahun 1960, sejatinya negara ini menyadari tentang “operasionalisasi” Pasal 33 UUD 1945 “agar bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” tetap ada dalam kuasa negara “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hadirnya regulasi tahun 1961 dan 1972 yang dideklarasikan bagi Perhutani mesti diterima sebagai amanat konstitusi untuk wigati lan nastitimandegani Ibu Pertiwi.Hutan Pulau Jawa ditata kelola dengan “pengusahaan produksinya”, sehingga hutan memang sumber pangan tetapi tidak akan dimakan. Kawasan hutan Pulau Jawa menjadi “istri” yang mesti dijaga sepenuh jiwa raga, karena negara telah “mengijabkabulkan” sewaktu “dipersunting” dengan “akad tunggal” Perum Perhutani.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Tentu dalam sejarahnya ada romantika yang terkadang terluka bahkan menjeritkan rintih bagi orang-orang yang selama ini mengiringi “bebrayannya”. 2,2 juta hektar lahan hutan yang ada dalam “pangkuan kinasih” harus diramut dengan tetangga-tetangga bahkan anggota keluarga yang lain melalui partisipasi masyarakat untuk “memetik rezeki” yang tersedia di hutan. Kesatuan-kesatuan pemangku hutan itu haruslah sungguh-sungguh “menimang penuh kasih sayang” dan bukan “menepis serta menendang-nendang” dengan laku “sidakep pangawe-awe”. Kalau ini yang terjadi berarti hadirlah “PIL-WIL” yang akan merusak tatanan hutan sebagaimana sebuah keluarga bisa bubrah karena kesetiaan yang cedera.
Dalam lingkup itulah penguasa yang bersukma pemimpin akan ngemong laksana pamong praja akan tampil “membuang PIL-WIL” itu agar omah-omah yang sakinah mawadah warahma tetap terkonstruksi harmoni. Inilah yang dibutuhkan, bukan penguasa yang hanya menunjukkan pangrehyang justru “membubrahkan katresnan” antara suami (negara) dengan istri (bumi pertiwi). Dengan keputusan yang dianggitkan sebagai sabda suci berangka 39 yang dikeramati itu dengan “dupa-dupa sertifikat” dipermaklumkan agar “pemisahan itu tidak digugat legalitasnya”. Penguasa yang bukan pemimpin alias ortu yang polah membawa serta anak(Perhutani) kepradah-pradah.
Untunglah, meski “bapak polah”, ternyata anak-anak rimbawan hadir agar tidak kepradah membubarkan“percumbuan hutan dan pemangkunya”.Mereka istiqomah menjaga hutan Jawa. Lihatlah hutan yang di luar Jawa, tatkala negara tidak membentuk “anak pemangkunya”, maka hadirlah investor-investor yang kini “dirasani” terang-terangan menjadi predator dengan mengangkangi hutan diubah perkebunan dengan jutaan hektar, melebihi dari penguasaan hutan perhutani di Pulau Jawa. Lantas ortu tetap saja menyalahkan anak turunnya sendiri dengan mempersilahkan tetangga-tetangga dekatnya ikut “ngeloni bojone anake dewe”.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Ini tidak pernah saya imajinasi karena ada pakem toto-titinya leluhur untuk berlaku terhormatyang disebut pangalasan. Istilah yang bukan saja menjadi simbul hadirnya trahPangeran Pangalasan selaku kesatria Majapahit, tetapi spiritnya untuk tetap hidup bermartabatlah yang seyogianya disemai sebagai pengingat. Komitmen yang harus dibangun adalah sesuai makna “alas-wono-hutan” yang penuh pohon atauwit-witan, yaitu permulaan. Janganlah engkau berbuat keji kepada “gerbang permulaan”, mengingat setiap lembar daunnya mendeburkan oksigen yang kita semua hidup bersamanya. Pada titik ini saya menjadi teringat buku The Hidden Life of Trees karya Peter Wohlleben (2017): darinya kita dapat membaca bahasa alam.
*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News