Tafsir Al-Kahfi 69-70: Musa Vs Ismail 'Alaihima Al-Salam

Tafsir Al-Kahfi 69-70: Musa Vs Ismail foto: AbsoluteArts

Musa yang dibesarkan di lingkungan istana Firaun berkali-kali menyaksikan sendiri kezaliman, penindasan, kekejaman yang dilakukan Firaun, ayah angkatnya. Hati sangat berontak, tapi tenaga tak punya daya. Sejak muda, Musa sudah diberi kadigdayan oleh Tuhan di tangannya. Sekali pukul, orang bisa mati seketika.

Saat dia ditunjuk menjadi rasul dengan anugerah wahyu, pengetahuan super luas, maka wajar saja dia sedikit pongah dan merasa paling hebat sedunia. Dan kepongahan itu ternyata muncul secara reflek meskipun di depan mahaguru spiritualnya.

Yo ngono iku gawane wong pinter. Ya begitulah tabiat umumnya orang cerdas, wong pinter, wong tersohor, lebih melihat potensi dirinya sendiri, tapi sulit melihat potensi orang lain.

Sedangkan Isma’il. Isma’ artinya mendengar dan "iil, elih, ilah" artinya Tuhan. Maknanya bisa: hamba Tuhan yang pandai mendengar pesan Tuhan atau hamba Tuhan yang suara dan doanya didengar dan diperhatikan Tuhan.

Ismail lahir dari kondisi alam yang sangat sepi dan menyendiri, tanpa penunjang materi yang memadai. Bersama ibunya, Hajar, Ismail bayi ditinggal begitu saja oleh ayahnya, Ibrahim A.S. dan dititipkan di sebelah Ka’bah, rumah Tuhan tanpa bekal apa-apa, bahkan air pun tidak. Tapi akhirnya bisa hidup berkecukupan.

Artinya, sejak dini jiwa Ismail terbentuk dengan basic kepasrahan, tawakkul yang sangat tinggi. Apa-apa serba Tuhan, sedikit-sedikit ingat Tuhan hingga berperilaku sesuai panduan Tuhan. Maka pastilah tidak ada rasa bangga dengan dirinya sendiri. Pantas saja saat diminta persetujuan oleh sang ayah akan disembelih, Ismail pasrah begitu saja. Pokoknya perintah Tuhan, maka “YA” begitu saja, tanpa catatan dan tanpa tapi-tapian.

Ucapan Ismail “... min al-shabirin” seperti dikutip pada al-Shaffat: 102 menunjukkan pandangannya yang luas dan akhlaqnya yang santun bisa menghargai orang lain. Paham bila hamba Allah SWT yang sabar dan bagus-bagus itu banyak, sementara dirinya hanya bagian dari mereka. Begitulah orang tawadlu’, pandai melihat potensi orang lain dan menafikan diri sendiri.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO