Keajaiban KH Abdul Chalim, Prof Ali Haidar Kurang Data Disertasi, Dilempari Buku di Muktamar NU

Oleh: M Mas'ud Adnan---Tulisan M Mas'ud Adnan tentang KH Abdul Chalim edisi kedua ini sangat seru. Lebih-lebih ada peristiwa aneh yang dialami Prof Dr Mohammad Ali Haidar. Sampai merinding membacanya.  

Apa isinya? Silakan simak tulisan Komisaris Utama HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com ini. Selamat membaca:

“Miskin itu sangat menyakitkan,” kata Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA kepada saya.

Orang miskin selain tak dihargai orang juga tak dipercaya.

Maka Kiai Asep tahu diri. Tak pernah mau menceritakan bahwa abahnya, KH Abdul Chalim, pendiri NU. Orang pasti tak percaya. Bahkan menertawakan.

“Saya ini di Siwalan dulu terkenal sebagai buruh,” kata Kiai Asep lagi kepada saya. Siwalan yang dimaksud adalah Siwalankerto Utara Surabaya. Tempat tinggal Kiai Asep di Surabaya.

Namun justru di Siwalankerto Utara itulah Kiai Asep merintis pondok pesantren. Amanatul Ummah. Yang kemudian berkembang besar. Lalu melebar ke Pacet Mojokerto. Sampai punya 12 ribu santri.

“Semua itu kehendak Allah. Termasuk yang Pacet itu,” kata Kiai Asep.

Saya membayangkan. Seandainya KH Abdul Chalim masih hidup niscaya sangat bangga. Menyaksikan putranya benar-benar sukses mendirikan pondok pesantren besar. 

Bukankah KH Abdul Chalim pernah berkata di depan para pendiri NU. Bahwa: “Anak saya nanti yang akan punya pesantren besar”? 

Pernyataan itu ia sampaikan ketika KH Abdul Wahab Hasbullah menyatakan bahwa dari semua pendiri NU hanya Kiai Abdul Chalim yang belum memiliki pondok pesantren.

Kiai Abdul Chalim memang tak pernah punya pesantren. Tapi banyak mendirikan sekolah. Dimana-mana. Termasuk di Surabaya, Semarang dan Cirebon.

Menurut Kiai Asep, saat abahnya menjawab spontan bahwa, “Anak saya nanti yang akan punya pesantren besar” sejatinya dibenaknya terlintas, bagaimana bisa punya pesantren besar, tiap hari sibuk menjadi komunikator para kiai dalam proses pendirian NU.

Memang Kiai Abdul Chalim inilah yang sibuk sebagai komunikator saat para kiai mendirikan NU. Tahun 1926. Kiai Abdul Chalim adalah sahabat karib Kiai Abdul Wahab Hasbullah sejak sama-sama belajar di Makah. Persahabatan itu berlanjut sampai ke Surabaya. Saat para mendirikan NU.

Dalam susunan pengurus PBNU periode pertama, Kiai Abdul Chalim tercatat sebagai Katib Tsani Syuriah PBNU. Sedang KH Abdul Wahab Hasbullah Katib Awal Syuriah PBNU.

Ketua Umum Tafdziyah Hasan Gipo. Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari Rais Akbar.

Saya sendiri semakin yakin bahwa Kiai Abdul Chalim adalah ulama mukasyafah. Punya kemampuan melihat sesuatu yang akan terjadi. Termasuk masa depan putranya, Kiai Asep Saifuddin Chalim.

Bahkan banyak sekali keajaiban Kiai Abdul Chalim. Prof Dr KH Ridlwan Nasir bercerita kepada saya. Tentang peristiwa ajaib yang menimpa Prof Dr M Ali Haidar.

Saat itu, tutur Prof Ridlwan Nasir, Ali Haidar menempuh S3. Ketika menulis disertasi ia butuh KH Abdul Chalim sebagai data. Tapi ia belum menemukan.

Ali Haidar kemudian berbaring. Sambil merenung.

Ajaib. “Tanpa diduga ada orang melemparkan buku (terkait data yang dicari) sambil mengatakan kepada Prof Ali Haidar, “Iki loh data yang sampean cari?,” kata Prof Ridlwan Nasir menirukan ucapan Prof Ali Haidar.

(Prof Dr M Ridlwan Nasir, M.A. foto: ist)

Saya pun berusaha menghubungi Prof Dr Mohammad Ali Haidar. Untuk konfirmasi. Bukan saya tak percaya Prof Dr Ridwan Nasir. Saya sudah lama mengenal Prof Ridlwan Nasir. Integritasnya terjamin. Mantan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya (kini UINSA) yang kini Ketua Yayasan Khadijah Surabaya itu sangat terpecaya.

Apalagi saya pernah menjadi Sekjen-nya saat Prof Ridlwan Nasir sebagai Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (Ikapete). Jadi saya tahu betul. Prof Ridlwan Nasir tak akan mengarang cerita.

(Prof Dr M Ali Haidar. doto: ist)

Tapi saya – sekali lagi - harus konfirmasi. Harus mendengar sendiri dari Prof Ali Haidar. Wartawan tak boleh menulis katannya atau kata orang. Harus menyaksikan sendiri atau mendengar langsung dari sumber utama. Paling tidak, ada konfirmasi.

Saya pun mengontak Prof Dr Ali Haidar. Ternyata apa yang disampaikan Prof Ridlwan Nasir benar.

“Ya betul. Saat muktamar NU Jogja,” kata Prof Ali Haidar membalas WA saya. Guru Besar Universitas Negeri Surabaya ke-44 itu bahkan menjawab rinci sekali.

“Menjelang Ashar, ada orang melemparkan buku kecil diikat karet gelang ke dalam kamar, gotaan. Saya buka isinya buku Kiai Chalim. Buku itu memang saya cari,” kata Prof Ali Haidar yang banyak menulis tentang NU dan kiai itu.

Prof Ali Haidar penasaran. “Saya keluar kamar mencari siapa yang melempar buku, tidak ketemu,” kata Prof Ali Haidar lagi.

“Saya telusuri beberapa kamar mungkin ada yang menerima buku yang sama, ternyata tidak ada. Jadi hanya saya yang menerima buku. Saya menerima buku itu dua atau tiga eksemplar. Saya lupa. Tapi pasti lebih dari satu. Buku kecil berupa syiir (nadzom) sejarah Kiai Wahab,” kata Prof Ali Haidar.

Saya merinding membaca WA Prof Ali Haidar. 

Kiai Abdul Chalim memang pernah menulis buku Sejarah Kiai Abdul Wahab Hasbullah. Maklum, Kiai Abdul Chalim tahu betul tentang Kiai Abdul Wahab Hasbullah. Akrab sejak sama-sama belajar di Makkah dan berlanjut sebagai sekretaris beberapa organisasi yang pernah didirikan KH Abdul Wahab Hasbullah. Antara lain Nahdlatul Wathan. KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai ketua sedang Kiai Abdul Chalim sebagai sekretaris.

Disertasi Prof Dr Ali Haidar itu kemudian dibukukan dengan judul Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik. Buku itu sangat bagus. Saya dulu pernah punya. Tapi hilang.

Prof Ali Haidar juga sempat menunjukkan kepada saya tentang kutipan tulisan Kiai Abdul Chalim dalam buku yang berasal dari disertasinya itu. Di halaman 113. Artinya, peristiwa yang diceritakan Prof Ali Haidar dan Prof Ridlwan Nasir benar-benar nyata dan fakta.

Memang banyak sekali misteri dan keajaiban Kiai Abdul Chalim. Tunggu saja tulisan saya berikutnya. 

Saya berterimakasih jika pembaca juga memberi masukan seperti pada tulisan edisi pertama yang banyak sekali respon, komentar dan tambahan referensi. (M Mas’ud Adnan/bersambung)