Tafsir Al-Isra 11: Dulu, Soekarno Juga Menggugat Adzan, Kini Anaknya

Tafsir Al-Isra 11: Dulu, Soekarno Juga Menggugat Adzan, Kini Anaknya Ilustrasi

Sama sekali tidak sama dengan wanita muslimah bertutup aurat, mereka sama sekali tidak memberi peluang kepada pria lain menikmati keindahan tubuhnya meski sekadar dilihat. Wanita muslimah selalu menjaga amanah Tuhannya dengan mematuhi segala perintah dan menjahui larangan-Nya. Lalu, menurut akal sehat, mana yang bermoral?

Kedua, soal adzan. Adzan adalah panggilan shalat, di mana sang muadzin menyeru umat Islam agar segera menunaikan ibadah shalat dan yang laki-laki diseru segera ke masjid. Adzan tidak harus pakai lagu, tapi suara harus lantang dan disunnahkan enak didengar. Jika dilagukan secara proporsional, maka makin indah dan magis.

Seorang rocker kenamaan Eropa punya studio musik yang letaknya tidak jauh dari masjid yang baru didirikan oleh sebagian umat Islam. Suatu ketika, pas mereka sedang latihan, suara adzan berkumandang dan terdengar sayup-sayup. Sang rocker terkejut sejenak mendengar ada nada aneh, tapi magis dan menyentuh. Tanpa iringan musik, tanpa gamelan dan tarian, suara adzan bisa menembus kalbu.

Makin dihayati, makin terpanggil hatinya untuk datang mendekat ke sumber suara, padahal si rocker sama sekali tidak mengerti artinya. Adzan selesai dan dia tahu, bahwa suara itu dari sebuah masjid. Esok harinya, adzan itu sengaja ditunggu dan didengarkan. Terus dan terus, akhirnya mengerti bahwa lirik adzan itu luar biasa. Tidak ada yang tidak mungkin, bila Allah memberi hidayah, maka berislamlah sang rocker.

Makanya, adzan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan nyanyi, tarian, gamelan karena dimensi berbeda. Hanya telinga taqwa saja yang bisa menikmati alunan adzan. Telinga munafik apalagi kafir pasti berebeken dan terganggu, makanya merendahkan dan membenci.

Sekelas ibu Sukma pasti paham bahwa adzan dan jilbab adalah bagian dari agama Islam, walau beliau tidak tahu syariah Islam. Boleh saja menangis dan meminta maaf, maka maafkanlah. Tapi tidak salah jika ada sebagian umat Islam yang membela kehormatan agama, lalu menyeretnya ke ranah hukum atas tuduhan penistaan agama, seperti dia dulu menuntut Habib Rizieq ke ranah hukum atas tuduhan menghina Pancasila, Soekarno, atau sebangsanya. Padahal itu tesis yang sudah diuji di hadapan guru besar dan sudah disahkan oleh perguruan tinggi yang sah.

Dulu, bapaknya, yakni Soekarno juga pernah menggugat terkait adzan, tapi persoalannya berbeda. Soekarno dulu pernah mempermasalahkan kalimat jawaban adzan bagi orang yang mendengar adzan. Tepatnya pada kalimah nida', "hayya ala al-shalah" dan "hayya 'ala al-falah". Katanya, bukankah lebih tepat dijawab dengan "insya Allah". Hal demikian karena adzan adalah ajakan atau undangan, seperti lazimnya orang yang diundang datang ke tahlilan, rapat, resepsi dll. Bukan dengan hauqalah, "La haula wa la quwwah illa bi Allah al-aliy al-'adhim".

Dari sisi akademik, tawaran Soekarno ini menunjukkan daya nalarnya yang kritis dan kecerdasannya yang prima. Analognya logik dan cantik. Tapi sayang, kecerdasan Soekarno itu kurang diikuti oleh anak-anaknya, sehingga nampak beda jauh.

Soekarno sangat bijak, gugatan itu disampaikan di forum tertutup, di majelis para kiai ketika kumpul bareng, bukan di depan publik dan terbuka. Dia memang sedang dirundung persoalan agama, tapi tetap dewasa dan arif. Bapak proklamator ini menggunakan nada tanya sembari menimba ilmu, bukan sok ningrat dan asal ceplos.

Lalu, seorang kiai menjelaskan, bahwa kalimah hauqalah (La haula wa la quwwah illa bi Allah al-'aliy al-adhim) lebih filosufis, makanya dan lebih santun ketimbang kalimah masyi'ah, "insya Allah".

Hauqalah punya tiga dimensi makna. Pertama, pengakuan atas kelemahan totalitas seorang hamba. Kedua, pengakuan atas kemaha-kuasaan Allah SWT secara mutlak. Dan ketiga, - sekaligus - permohonan limpahan anugerah kemampuan. Inilah tauhid tingkat tinggi dengan kepasrahan mendalam.

Artinya, si hamba sejatinya sudah sangat siap menyambut seruan adzan, tapi semua bergantung kepada pemberian kekuatan dari Tuhan. Meski adzan juga atas nama Dia, maka percuma saja bila kemampuan merespon tidak diberikan. Sedangkan kalimah masyi'ah, meski sama-sama terkait dengan kehendak Tuhan, tapi hanya mencerminkan kesanggupan saja, tanpa pengakuan keterbatasan diri, tanpa pemujian atas keperkasaan-Nya. Allah a'lam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO