Kontroversi Mardani dan Marwah PBNU: Ingat Kasus SDSB Ghaffar Rahman-Kiai Ali Yafie

Kontroversi Mardani dan Marwah PBNU: Ingat Kasus SDSB Ghaffar Rahman-Kiai Ali Yafie Mardani Maming usai diperiksa di Gedung KPK Jakarta, 2 Juni 2022. Foto: Antara

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Tiga bulan terakhir ini menjadi berita heboh di media. Baik media mainstream maupun media sosial. 

Saya sebut heboh karena paling banyak jadi perhatian publik. Bahkan selalu jadi berita utama. Baik di media cetak, elektronik (TV), maupun online. Apalagi media sosial.

Maklum, dia Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Apalagi terkait kasus dugaan korupsi. Yang kini jadi sorotan publik. Yakni peralihan izin usaha pertambangan (IUP) operasi batu bara tahun 2011.

Kita semua sudah tahu. Dalam sidang pengadilan Tipikor Banjarmasin, Mardani disebut menerima uang Rp 89 miliar. Tapi dia membantah. Lewat pengacaranya.

Peristiwa dugaan korupsi itu terjadi saat Mardani menjadi bupati Kalimantan Selatan (Kalsel). Ketua HIPMI dan ketua DPD PDIP Kalsel itu jadi bupati dua periode: 2010-2015 dan 2015-2020.

Jadi, peristiwa dugaan korupsi itu terjadi jauh sebelum Mardani jadi . Namun justeru karena itulah para kiai dan aktivis NU kini ramai. Baik dalam pertemuan-pertemuan kiai pesantren maupun di grup-grup WhatsApp (WA) yang anggotanya para kiai dan aktivis NU.

"Kenapa ia tiba-tiba jadi pengurus PBNU. Kalau niat mengabdi di NU, kenapa kasusnya tak diselesaikan dulu. Kenapa justru bawa masalah dan jadi beban NU?," tanya para kiai. 

“Siapa Mardani itu? Siapa yang bawa Mardani ke NU,” tanya kiai yang lain. “Apa dia kader NU, kok tiba-tiba jadi ?.”

“Apa sih sumbangsih dia pada NU selama ini?” tanya yang lain.

“NU kan organisasi para kiai, bukan parpol. Bukankah NU banyak kader: kiai, gus, juga pengusaha, NU tulen, tapi tak diakomodasi,” timpal yang lain.

Banyak sekali pertanyaan para kiai. Terutama di grup WA para kiai dan aktivis NU.

(KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Foto: republika)

Diakui atau tidak, kasus Mardani menjadi ujian berat bagi NU. Terutama PBNU. Apalagi terkait kasus dugaan korupsi. Karena itu kini dipertaruhkan.

Memang Mardani belum tentu bersalah. Proses hukum masih berjalan. Dia juga baru sebatas saksi. Bukan tersangka.

Tapi kerugian moral NU sudah sangat besar. Citra NU – terutama PBNU – tercoreng. Semua media - termasuk media-media besar - memberitakan. Berbulan-bulan.

Dan ini dirasakan para kiai. Terutama para kiai yang tulus. Yang menjaga marwah dan nama besar NU. Yang ngeman dan merasa memiliki NU.

Bukankah NU itu milik para kiai dan warga NU? Terutama kiai pesantren. Jadi, NU bukan hanya milik pengurus, termasuk PBNU. Maka wajar, jika kemudian muncul frasa NU kultural dan NU struktural.

Yang perlu diingat, jadi pengurus NU – termasuk PBNU – sangat ditentukan oleh periode. Selesai periodenya, selesai pula kepengurusannya. Termasuk kekuasaannya.

Maka jadi pengurus NU harus diniati mengabdi dan melayani (khaddam). Bukan untuk berkuasa. Apalagi menghalalkan segala cara.

Kenapa? Karena NU didirikan para masyayikh mukhlis. Bahkan para waliyullah. Sebagai instrument perjuangan: Aswaja. Bukan kendaraan politik untuk cari kekuasaan dan keuntungan pribadi. Apalagi sekedar ingin jadi komisaris.

PELAJARAN KASUS GHAFFAR RAHMAN DAN KIAI ALI YAFIE

Saya lalu ingat ketika Gus Dur awal menjabat ketua umum PBNU. Saat itu terjadi kasus heboh. Sekjen PBNU, Ghaffar Rahman, menerima bantuan senilai Rp 50 juta dari Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). 

Bantuan itu diberikan kepada madrasah milik Kiai Junaidi di Tuban, Jawa Timur. Sekali lagi, bantuan itu diberikan kepada madrasah. Bahkan madrasah kecil. Bukan untuk pribadi.

Tapi reaksi KH Ali Yafie – seperti dtulis Hamzah Sahal di Tirto.id - sangat keras. Kiai Ali Yafie tak bisa menoleransi institusi NU terkait dengan perjudian. Kiai Ali Yafie yang saat itu Pejabat Sementara Rais ‘Am Syuriah PBNU mengundurkan diri pada Musyawarah Nasional (Munas) di Bandar Lampung pada 21 Januari 1992.

Sekali lagi, Kiai Ali Yafie mengundurkan diri. Bukan gertak sambal. Apalagi ingin digandoli.

PBNU pun bersikap tegas. Minta Ghaffar Rahman mundur dari Sekjen PBNU. Bahkan uang sumbangan Rp 50 itu juga dikembalikan.

(KH Ali Yafie. Foto: istimewa)

Kiai Ali Yafie juga sempat minta Gus Dur mundur. Tapi para kiai tak sepakat. Akhirnya Kiai Ali Yafie tetap mundur. Namun hubungan Gus Dur dan Kiai Ali Yafie kemudian membaik. Kiai Ali Yafie tetap di NU. 

Seperti ditulis Ayunk Notonegoro, Kiai Ali Yafie hadir pada pembukaan Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya. Tahun 1994. Kepada publik, Kiai Ali Yafie menyatakan bahwa NU tak pecah. Tapi ada perbedaan yang tak bisa dijembatani. Suatu pernyataan yang bijak.

Bahkan di arena Munas, seperti dilaporkan Tempo (1 Februari 1992), Gus Dur berterima kasih kepada Kiai Ali Yafie karena telah mengabdi untuk NU dengan ikhlas. Gus Dur yang sudah mengenal Ali Yafie sejak 1970-an menyatakan keprihatinannya atas perselisihan tersebut. “Dalam hati saya menjerit pada Allah, kenapa ini terjadi. Tapi roda organisasi harus jalan terus,” kata Gus Dur seperti dikutip Tempo.

Memang, banyak kesaksian bahwa Gus Dur lah yang awalnya menyosialisasikan nama Kiai Ali Yafie. Hamzah Sahal menulis bahwa intelektual muslim kesohor, Nurcholish Madjid (Cak Nur), dalam buku 70 Tahun KH. Ali Yafie, di paragraf pertama mengingat orang yang pertama kali mengenalkan dirinya dengan Ali Yafie adalah Gus Dur.

“Pertama kali saya mendengar tentang tokoh Kiai Ali Yafie dari Gus Dur. Pada saat itu, awal 70-an, saya rasakan adanya hubungan yang sangat khusus antara Gus Dur dengan Kiai Ali Yafie. Paling tidak, hubungan itu berupa sikap kagum dan penghargaan yang tulus dari Gus Dur, seorang tokoh muda yang namanya mulai meroket, kepada kemampuan ilmiah keagamaan kiai dari Sulawesi Selatan itu,” begitu Cak Nur menulis.

Kesaksikan Cak Nur atas perhatian Gus Dur pada Kiai Ali Yafie juga dibenarkan oleh KH Mustofa Bisri (Gus Mus). “Yang ‘menjelaskan’ sosok Kiai Ali Yafie di banyak kesempatan, ya, Gus Dur. Salah satu pekerjaan Gus Dur memang begitu, mengenalkan tokoh-tokoh hebat seperti Allahu yarham Kiai Sahal [Mahfudh], bahkan banyak tokoh lain,” ungkap Gus Mus kepada saya (Hamzah Sahal-Red).

Demikianlah, perbedaan dalam tubuh NU sangat lumrah. Tapi ketika menyanngkut masalah prinsip “kiai NU sejati” tak kenal kompromi. Apalagi menyangkut marwah NU.

Semoga kita bisa meneladani sikap rasa memiliki NU seperti para kiai tersebut. Termasuk dalam menjaga marwah NU. Paling tidak, kita berharap, semoga masih ada kiai atau ulama yang punya ghirah ke-NU-an seperti Kiai Ali Yafie dan Gus Dur. Bahkan juga tokoh NU yang lapang dada seperti Ghaffar Rahman. Wallahua’lam bisshawab. (M Mas’ud Adnan)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO