Tanya-Jawab Islam: Wanita Minta Cerai, Suami tak Menafkahi Anak karena Ada Perjanjian, Dosakah?

Tanya-Jawab Islam: Wanita Minta Cerai, Suami tak Menafkahi Anak karena Ada Perjanjian, Dosakah? Dr. KH. Imam Ghazali Said.

Ayat ini menjelaskan bahwa dalam perceraian, suami tidak diperbolehkan untuk mengambil kembali maharnya yang telah diberikan kepada istrinya, jika perceraian itu dikehendaki oleh Sang Suami. Namun, mahar itu boleh dikembalikan kepada suami jika Sang Istri sendiri yang menceraikan, bukan diceraikan, dalam istilah lain gugatan cerai.

Peristiwa ini juga pernah terjadi pada masa Rasul. Sebuah hadis yang dilaporkan oleh Ibnu Abbas ra mengatakan:

"Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku (Tsabit) dalam hal akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran (karena tidak mampu menunaikan kewajibanku sebagai istri) dalam Islam". Maka Rasulullah SAW berkata padanya: "Apakah kamu mengembalikan kebun (mahar) suamimu? Wanita itu menjawab: "Ya". Maka Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit: "Terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali talak". (Hr. Bukhari).

Nah, inilah yang terjadi dalam pertanyaan Bapak di atas, yaitu khulu’ (gugatan cerai) bukan talaq (perceraian) seperti biasanya. Kasus seperti ini biasanya suami tidak menghendakinya, tapi istri menggugat ke Pengadilan Agama, maka terjadilah perceraian itu. Sebagai gantinya suami dapat mendapatkan maharnya kembali.

Nah, jika Sang Suami menolak, hakim dapat memutuskan khulu’ itu demi kebaikan mereka berdua, apalagi sudah jelas kedhaliman suami kepada istri (semisalnya). Hal ini mirip dengan putusan rasul kepada istri Tsabit di atas.

Namun, jika suami meminta lebih dari mahar sebagai syarat gugatan cerai, hal ini bisa ditolak melalui hakim di Pengadilan Agama. Namun, jika syarat itu sudah disetujui oleh Sang Penggugat (Istri) dan disahkan oleh hakim, maka suami boleh tidak membiayai putranya atas dasar perjanjian dan persyaratan tadi di atas. Sebab suami tidak menghendaki perceraian itu, istri-lah yang memaksa untuk menggugat dan menyetujui persyaratan itu. Hal ini sangat berbeda dengan perceraian dari pihak suami, maka ia wajib memberikan nafkah kepada mantan istri dan anaknya, apapun kondisinya itu.

Hanya saja ini hukum fiqihnya saja. Namun, menurut kewajiban sebagai seorang ayah, ia tetap melekat berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan putranya itu, tidak terputus dengan adanya khulu’ dan persyaratan di atas. Hati nuraninya pasti tetap ingin memberikan nafkah itu kepada (terutama) anaknya tersebut. Walllahu a’lam.

Sumber: Dr. KH. Imam Ghazali Said

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO