​Masyarakat Jember Keluhkan Sistem Zonasi PPDB SMP

​Masyarakat Jember Keluhkan Sistem Zonasi PPDB SMP Para wali murid saat akan mendaftarkan anaknya.

JEMBER, BANGSAONLINE.com – Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang diatur dalam Permendikbud No 51 Tahun 2018, yang mempertimbangkan jarak dari tempat tinggal ke sekolah (zonasi) mendapat sorotan dan keluhan dari masyarakat Jember. Pasalnya, penerapan sistem zonasi tersebut tidak didukung oleh SDM dan sarana prasarana yang baik dari sekolah yang ada.

Bahkan orangtua calon siswa baru ragu akan sistem zonasi tersebut, sehingga terpaksa harus mencari alternatif sekolah swasta. Meskipun, pertimbangannya biaya pendidikan yang agak mahal dari SMP negeri.

Seperti yang disampaikan Wakil Ketua DPRD Jember Ayub Junaedi. Menurutnya, penerapan sistem zonasi sebagaimana Permendikbud tersebut, tidak dipertimbangkan terlebih dahulu apakah sudah sesuai dengan kondisi di Kabupaten Jember.

“Sehingga, siswa yang memiliki prestasi menonjol namun berasal dari daerah pinggiran dan berjuang untuk bisa mendapat pendidikan yang layak di sekolah favorit dengan dukungan belajar yang baik, maka harapannya akan pupus,” kata Ayub saat dikonfirmasi sejumlah media, Selasa (18/6/2019).

Terkait sistem zonasi tersebut, menurut Ayub, untuk di kota-kota besar memang sudah merata terkait SDM yakni pengajar, ataupun juga sarana prasarana pendukung untuk kegiatan belajar mengajarnya. 

“Oke di Surabaya, di Jakarta sudah merata, itu (SDM dan sarana prasarana sekolah) SMP-nya. Lah di Jember ini masih banyak persoalan. Sehingga membuat susah orang tuanya, bahkan juga anaknya,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut legislator dari PKB ini, terkait nilai hasil ujian nasional siswa yang berprestasi, saat ini bukan menjadi patokan utama. Sehingga Permendikbud tersebut, menurut Ayub, dinilai tidak menghormati perjuangan anak didik pada saat mengikuti ujian nasional.

“Kenapa? Karena anak-anak didik itu, sudah berjuang dengan mengikuti les tambahan ataupun latihan dan pelatihan dengan harapan dapat nilai tinggi,” ungkapnya.

“Tetapi dengan adanya sistem zonasi, maka si anak didik ini terancam tidak bisa masuk ke sekolah yang dicita-citakan, karena jarak tempat tinggal dan sekolahnya terlalu jauh. Karena nilai hanya menjadi pendukung 5 persen untuk menjadi pertimbangan,” ungkapnya.

Ayub pun menyarankan agar sistem zonasi dievaluasi lagi. “Yakni menjadi pertimbangan 50 : 50 persen. Artinya, anak-anak yang sekolah itu bisa masuk di sekolah (dengan pertimbangan jarak), tetapi juga didukung nilainya. Nah kalau seperti sekarang, terus apa gunanya berjuang untuk ikut Unas dan masih les. Ini mereka berjuang loh,” tegasnya.

Sementara itu saat dikonfirmasi terpisah, orangtua salah seorang calon siswa SMP Oryza Wirawan menyampaikan, dengan adanya sistem zonasi tersebut, dirinya menjadi ragu untuk menyekolahkan anaknya ke SMP favorit yang sesuai dengan nilai prestasi anaknya.

“Saya khawatir anak saya malah tidak dapat sekolah karena zonasi ini. Padahal rata-rata nilainya 8 semua. Rumah saya di Taman Gading, dengan sistem baru ini, mau ke SMP 1 atau 2 terkendala jarak. Akhirnya ya ke SMP 11, karena dekat rumah,” katanya.

Bahkan jika terpaksa, Oryza harus menyekolahkan anaknya ke SMP swasta. “Alternatif aman mungkin ke SMP swasta. Lah bagaimana lagi, pilihan hanya satu sekolah. Meskipun ada gelombang kedua pendaftaran. Tetapi zonasi tidak mendukung. Tapi risiko, jelas biaya pendidikan mahal di swasta,” ujarnya dengan perasaan kecewa. (jbr1/yud/ian)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO