Memang, kata dia, tidak ada ketentuan ataupun standar seseorang bisa mendapat gelar Hadratussyaikh. Karena pada umumnya tidak cuma berilmu, namun juga punya pengaruh yang menjadi ukuran. “Jadi ilmu dalam bidang studi Islam misalnya ahli di bidang tafsir, ahli di bidang hadits. Nah, paling tidak dua ini, hadits dan fiqih. Itu contoh keilmuannya,” katanya.
Tetapi – tegas dia - keilmuan saja tidak cukup. Untuk mendapat gelar hadratussyaikh, juga perlu pengaruh. Dia (hadratussyaikh) kalau ngomong itu ada pengikutnya. Nah, ketika dia ada pengikutnya dia berhak untuk mendapat gelar hadratussyaikh. Hak itu bukan ada SK-nya tapi langsung dari masyarakat.
“Jadi ganda, harus ada akademik juga ada pengaruh. Nah, di antara indikator pengaruhnya itu mimpin organisasi besar,” beber Imam Ghazali Said.
Menurut dia, gelar hadratussyaikh adalah gelar modern yang digunakan di Indonesia. Dulu gelar Hadratussyaikh belum ada. “Belum ada di zaman Syaikh Abdul Qodir Jaelani ataupun di zaman Syaikh Siti Jenar. Namun Syaikh Abdul Qodir Jaelani dikenal dengan walinya, bukan hadratussyaikh-nya," katanya.
Senada dengan Kiai Imam Ghazali Said, KH Ma’ruf Khozin, Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Timur menjelaskan bahwa gelar hadratussyaikh adalah gelar kehormatan bagi orang yang memang berilmu. Ia mencontohkan KH Kholil Bangkalan yang diberi gelar syaikhona. “Istilah hadratussyaikh itu bukan gelar akademis, beda dengan doktor harus S3, master harus nyelesaikan tesis. Tapi kalau hadratussyaikh dengan syaikhona itu gak ada,” jelas Ma’ruf Khozin saat BANGSAONLINE.com menemui di Kantor PWNU Jawa Timur, Senin (13/5/2019).
Namun sekarang, kata Ma’ruf Khozin, orang begitu mudah memberikan gelar hadratussyaikh padahal khidmahnya sama sekali belum terlihat. “Pada intinya kalau Mbah Hasyim itu lebih pada karena kiainya para kiai saat itu,” tuturnya. Ia memberi contoh jabatan Rois Syuriyah di Nahdlatul Ulama (NU). “Kalau sekarang kan Rais Aam, kalau Mbah Hasyim Rais Akbar. Sejak Kiai Wahab jadi Rais beliau mengganti Rois Akbar menjadi Rois Aam karena ketokohan dan kealiman beliau (Mbah Hasyim) berbeda,” beber Kiai Ma’ruf Khozin.
Karena itu ia menyarankan kiai sekarang, apalagi yang level ilmunya masih di bawah Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari, sebaiknya tak memakai gelar hadratussyaikh. “Untuk menghormati ketokohan salah satu tokoh pendiri organisasi NU tersebut lebih baik tidak menggunakan gelar hadratussyaikh di zaman sekarang, namun cukup kiai seperti yang dilakukan Kiai Wahab ketika menjadi Rais yaitu mengganti Rais Akbar menjadi Rais Aam," pungkasnya.
Dalam catatan BANGSAONLINE.com, memang tidak mudah mendapat gelar hadratussyaikh. Kiai Hasyim Asy'ari sendiri mendapat gelar hadratussyaikh sejak belajar di Makkah selain karena kealimannya yang diakui ulama-ulama internasional juga karena punya pengaruh besar. Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari dikenal sebagai ulama yang menguasai bahkan hafal hadits-hadits yang terhimpun dalam Kutubus Sittah (enam kitab hadits), meliputi Shahih Bukhari, Shahih Muslim, An-Nasai, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Karena itu tiap bulan Ramadlan banyak ulama-ulama besar - termasuk Syaikhona Kholil bin Abdul Latif Bangkalan - ikut mengaji hadits kepada Hadaratussyaikh Hasyim Asy'ari. Tradisi mengaji Shahih Bukhari dan Muslim ini hingga kini terus berlangsung tiap bulan Ramadan di Tebuireng. Penerus khataman Shahih Bukhari dan Muslim tiap bulan Ramadan ini tentu kiai Tebuireng yang sanad keilmuannya nyambung ke Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. (Mohammad Sulthon Neagara)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News